Tere
liye hadir lagi dengan imajinasi barunya. Dengan pemaparan sederhana tentang
cinta dan objek yang jarang sekali menarik perhatian. Tapi lagi-lagi Karena
keistimewaan pilihan kata dan penyampaian sederhana, tidak berbelit-belit tapi
sukses membuat penasaran, cerita dalam novel ini menjadi istimewa untuk dibaca.
Berlatar sungai Kapuas di kota istimewa yang terletak tepat di garis
khatulistiwa, Pontianak. Mengambil tema kehidupan dan lingkungan para pengemudi
sepit, yang sederhana, kompak dan kekeluargaan yang meski seringkali diabaikan
justru menarik intuisinya sebagai penulis. Seluruh kisahnya tertutur rapi dan
asik dalam tiga puluh tujuh bab buku ini.
Kau,
Aku dan sepucuk angpau merah adalah novel yang menceritakan tentang kisah
seorang pemuda. Anak yatim yang berhati paling lurus sepanjang Kapuas. Adalah Borno,
seorang pemuda asli Pontianak yang hidup dan besar di rumah panggung pinggir
kali. Dikelilingi banyak keragaman suku, bugis, melayu dan suku asli ada. Ada cik
tulani dan Koh Acong yang meski keturunan cina mengaku asli Pontianak, Bang
togar anak angkat tetua suku dayak. Berbaur kompak menjadi satu. Memiliki teman
baik bernama Andi yang asli bugis. Menghormati dan meyakini petuah bijak dari
seorang perantau yang sangat mencintai kota itu, seorang tetua yang sudah
dianggapnya sebagai keluarga sendiri, yang tidak lain tidak bukan adalah Pak
tua, yang selalu memberikan pemahaman baik untuk tiap kejadian.
Diawali dari meninggalnya Ayah Borno. Bukan karena
nyawa yang sudah benar-benar hilang dari raga, tapi karena kebaikan hati
ayahnya yang merelakan jantungnya didonorkan kepada orang lain yang sudah hampir
mati meski kemungkinan ayahnya tersebut masih dapat diselamatkan. Ubur-ubur
penyebabnya. Borno yang saat itu masih sangat muda belia, perlahan menghapus
memori luka dari ingatannya meski tak benar-benar pernah lupa. Kehidupannya berjalan
seperti biasanya, hidup sebagai bujang di sepantaran sungai Kapuas, tinggal
berdua hanya bersama ibunya, Saijah namanya. Melanjutkan sekolah yang tak
diduganya bisa sampai ke jenjang SMA. Selepasnya dari sekolah, Borno bekerja
apa saja, mulai dari buruh pabrik dan juga penjaga karcis kapal feri yang tak
bertahan lama, sampai akhirnya kesepakatan para kerabat dekat ayahnya untuk
menyuruhnya menjadi pengemudi sepit seperti warga lain dengan sepit borneo hadiah
dari bang togar dan sumbangan para warga lainnya. Dan disinilah kisah bermula.
Ia
menemukan selembar surat berwarna merah, dilem rapi, dan tanpa nama di dalam
sepit hebat berwarna biru miliknya. Berhari-hari mencari siapa pemilik surat
merah tersebut, ternyata surat itu hanya sebatas angpau biasa saja. Dibagikan seorang
gadis cantik menjelang perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Dan ia menyimpannya
sampai nanti kisah ini akan terang sendiri. Yang menjadikan menarik cerita ini
adalah Mei, gadis pemilik surat itu, dengan wajah sendu menawan yang membuat Borno
pemuda berhati lurus itu menjadi bodoh kelakuannya. Selalu mengantre di urutan
sepit nomor tiga belas, berusaha mencari kesempatan besar untuk sengaja bertemu
dan berbincang meski hanya sepuluh sampai lima belas menit dengan waktu
penantian yang tak berbanding seimbang yaitu dua puluh tiga jam, tapi selalu
kebetulan yang mempertemukan kisah mereka.
Mei,
seorang gadis keturunan melayu Pontianak yang lahir disana, kuliah dan pindah
di Surabaya, yang akhirnya kembali mengukir kisah cintanya di tempat
kelahirannya. Dengan perbuatan sederhana dan tanpa kata cinta. Borno yang
awalnya adalah pengemudi sepit, setelah kepergian mei yang pertama memutuskan
belajar ilmu perbengkelan sesuai saran ayah Andi yang memiliki bengkel kecil
yang tak ubahnya seperti gudang bekas barang rongsokan. Tapi ia menemukan
hobinya yang terpendam dalam hal itu. Mempelajari tekhnik sederhana dengan
caranya sendiri, membaca habis buku yang ia peroleh dari bapak andi dan
meminjam selebihnya dari perpustakaan kota. Lebih banyak dan lebih menggebu dibanding
anak sepantaran yang sedang menempuh kuliah akhir.
Ia
menghabiskan seluruh waktunya untuk mempersibuk diri, pagi harinya mengemudi
sepit, sore sampai malam ia belajar menjadi montir dan malamnya mendengar
petuah hebat dari pak tua. Semuanya ia lakukan untuk menghilangkan harapan
semunya tentang bibit rasa yang tidak ia semai dalam hati tetapi mekar sendiri
untuk Mei. Hari berganti hari dilewati dengan berbagai cerita di sekelilingnya,
Pak tua yang sakit, Andi yang berbohong padanya kalau Mei sudah kembali padahal
hanya akal-akalannya saja untuk mengantarkan besan Daeng yang tak lain adalah ayahnya
Andi, juga diselingi Kisah cinta bang Togar yang masih saja romantic dari awal
sampai masalah datang menerpa bahtera rumah tangganya. Sampai akhirnya enam
bulan ia lalui sempurna tanpa kabar dari Mei, dan sakit pak tua karena umurnya
yang sudah renta membawa jalannya sendiri untuk bertemu dengan Mei untuk yang
kedua kalinya.
Tanpa
tau alamat rumah dan dimana Mei bekerja, Borno berangkat gamang ke Surabaya
menemani pak tua berobat. Tetapi kebetulan lagi hebatnya, Ia bertemu dengan Mei
di ruang tunggu klinik alternative tempat pak tua menjalani terapi dan tempat
nenek Mei terapi juga, kebetulan yang menyenangkan, setelah sekian lama
menghabiskan tenaga juga pikirannya mengobrak-abrik isi buku telepon tebal bernama
Soelaiman akhirnya waktu sendiri yang berbaik hati mempertemukan. Mereka bertemu,
berpisah, bertemu lagi di Surabaya dan berpisah di kemudian hari dengan harapan
akan cepat bertemu lagi, meski kepercayaan dirinya yang berkurang karena
menyadari ia dan Mei yang begitu berbeda dan tatapan sinis dari ayahnya Mei
ketika ia datang berkunjung.
Sekembalinya
ke Pontianak, harinya kembali lagi muram durja, ingatan tentang Mei justru
semakin menjadi. Membuatnya tak konsentrasi mengerjakan apapun, dan jatuh
sakit. Sakit di badan, sakit di hati. Ia semakin sibuk belajar montir, mengasah
lagi kemampuan terpendamnya dalam hal otomotif, mencoba mewujudkan rencana
sederhana yang dimilikinya untuk ia dan Andi, teman sejatinya. Kembali lagi
dengan rutinitas hariannya di pinggiran Kapuas. Mengemudikan sepit, belajar di
bengkel Daeng dan menjaga Pak tua.
Tak
perlu menunggu lama setelah kepulangannya dari Surabaya, Kejutan besarnya Mei
kembali lagi mengajar di Pontianak, meninggalkan sekolahnya di Surabaya. Datang
mengagetkannya pagi-pagi dengan memesan khusus sepit miliknya pada petugas
timer, mengembalikan lagi senyum khasnya beberapa hari. Sekembalinya Mei untuk yang kedua kali ke kota
istimewa itu, semangatnya kembali menyala, seperti kobaran api yang tak pernah
padam. Ia dan Mei semakin dekat saja. Mei menjadi penumpang specialnya setiap
pagi, meski masih saja kerongkongannya seperti tercekat ketika memulai bicara,
tetapi segalanya berubah membaik. Tapi lagi-lagi Mei menghilang, meski telah
memberikan hadiah buku yang selalu saja special, ia pergi meninggalkan janjinya
karena tak pernah yakin dengan hatinya sendiri, hanya membiarkan hati terus
berasumsi. Dan babak baru kehidupan asmara juga impiannya dimulai, tapi seluruh
cerita yang belum pasti itu juga mulai terkuak perlahan
Ia,
pak tua dan Andi datang berkunjung ke sebuah tempat praktek dokter gigi untuk
mengantarkan Andi yang sakit gigi. Makin lama makin parah, akhirnya ia dan pak
Tua memaksa andi pergi kesana. Dan disana mereka bertemu dokter sarah, seorang
gadis cantik penambah ramai cerita ini. Ia adalah seorang dokter gigi yang
ternyata adalah anak kecil yang dilihat Borno beberapa tahun silam, di lorong
rumah sakit yang sama ketika ayahnya diambil jantungnya untuk didonorkan. Gadis
kecil yang memperhatikannya dengan seksama meski harus mendapat tatapan sinis
darinya waktu itu. Gadis kecil yang selalu mengingat detail kejadian di lorong
rumah sakit, ketika ia yang masih kecil berteriak-teriak meyakinkan diri bahwa
ayahnya masih hidup, ketika ia kecil meronta tak mau mengalah kalau ayahnya
masih bisa diselamatkan, bukan malah pasrah menyumbangkan jantungnya yang masih
bisa berdetak di dunia.
Seluruh
kenangan itu kembali terputar otomatis, seperti rekaman ulang kejadian masa
lalu yang tiba-tiba hadir di pikiran tanpa bisa dihentikan. Memutar kembali
kejadian menyakitkan. Tetapi bedanya, sekarang ia menemukan kebanggaan karena
kebaikan dan ia sendiri yang sudah lebih mengerti hakikat berbagi. Keluarga besarnya
di sepantaran Kapuas kedatangan tamu besar, yaitu keluarga sarah yang tak
henti-hentinya berterima kasih atas pengorbanan ayah borno dulu. Berterima kasih
karena baru saat ini bisa menemukan jejak mereka meski sudah bertahun-tahun
mencari. Kedua keluarga besar ini dengan cepat menyatu, seperti layaknya teman karib
yang sudah lama tak bertemu.
Jalan
untuk impian Borno juga terbuka lewat Daeng, ayah Andi. Ia diminta untuk
menjadi kongsi besarnya untuk membuka bengkel besar di jalan strategis
pinggiran kota. Dan ia meyakini impian besarnya itu dengan berbesar hati
menjual sepit kebanggaannya itu untuk menutupi kekurangan biaya pembelian toko itu.
Tapi sial tak dinyana-nyana, Daeng yang sudah terlanjur kepincut membeli dan
tidak terlalu memperhatikan urusan surat menyurat toko itu ternyata kena tipu
mentah-mentah. Ternyata toko itu hanya toko sewaan yang bangkrut sebelum masa
sewanya habis, dan uang Daeng dan janji spare part lengkap untuk memenuhi bengkel
musnah dibawa pergi penipu itu. Sialnya lagi, Daeng shock berat. Beberapa bulan
ke depan Daeng hanya bisa diam meratapi perginya uang yang diusahakannya
berbulan-bulan lamanya. Uang dari hasil menjual rumah dan sepit kebanggaan
borno itu. Mereka berdua berusaha sekuat tenaga membangkitkan semangatnya,
membangun kembali puing-puing harapannya untuk jadi pemilik bengkel ternama. Merencanakan
lagi mimpinya, menjaring relasi dimana-mana.
Dan
kabar baiknya, sedikit demi sedikit pelanggan bengkel baru Borno bertambah
karena kerja Borno yang bisa diandalkan seperti montir professional, berkat
mulut Andi juga yang tak henti-hentinya berbual tentang layanan hebat tanpa
kesalahan. Keadaan Daeng semakin lama semakin membaik, tatapannya sudah penuh
ambisi, tidak kosong lagi seperti dulu. Berita baiknya lagi, Mei kembali lagi
dengan keyakinan baru, kepergiannya sementara ini membiarkan tempat duduk sepitku
kosong satu ternyata diketahui pak tua. Mei hampir selalu saja bercerita kepada
pak tua, mendatangi rumahnya, tetapi meminta dengan hormat agar pak tua tak
menceritakannya. Tetapi kalau jodoh memang tak kemana, mereka bertemu
berpapasan di tangga rumah pak tua. Mei hendak pulang dan Borno baru saja
datang mengantarkan rantang makanan, mei yang terburu-buru malah meninggalkan
tumpukan buku PR milik muridnya. Dan kesempatan Borno untuk berpura-pura jadi
pahlawan, memperbaiki hubungannya yang sempat merenggang. Dan lagi-lagi
semuanya terjalin indah, berpilin-pilin seperti kelindan. Seperti sudah tak
dapat dipisahkan. Mei membantu Borno membangun lagi impiannya, menjadi teman
setia Borno melebarkan sayap usahanya. Membawakan makan siang dan makan bersama
di bengkel, Membagikan stiker dan jaket untuk dibagikan dan ditempelkan di helm
para tukang ojek agar menjadi langganan setianya, juga menjadi alat promosi
gratis yang bisa sampai kemana-mana. Ide yang cemerlang bukan?
Tapi
kebahagiaannya itu tak bertahan lama, Mei memutuskan hubungannya tanpa diduga. Tanpa
penjelasan pula. Ia hanya datang ke bengkel dengan muka masam, menemui Borno
dan bilang, jangan menemuiku lagi. Borno lagi-lagi dibuat menunggu, dibuat
hatinya terombang-ambing tak pasti lagi-lagi Karena asumsi yang tak diperjelas
si empunya hati, Mei.
Kesibukan
membuka bengkelnya, keluarga barunya membuat Borno sesekali melupakan
kegalauannya. Kali itu Borno sekeluarga diundang ke acara pesta pernikahan
kakak Sarah, dan meski semuanya sudah dipersiapkan rapi oleh sarah tanpa
diinginkan Borno, kejadian tak terduga hadir lagi. Ia bertemu dengan Mei dan
ayahnya di tempat itu. Ternyata Mei dan ayahnya adalah sahabat karib keluarga
Sarah sejak dulu, sampai Mei dan keluarganya meninggalkan Pontianak tanpa kabar.
Borno mencoba mendekati Mei yang selalu merapat dengan ayahnya yang galak itu. Sampai
akhirnya kesempatan itu datang, Borno bertanya, “Karena apa?” tapi Mei hanya diam,
berkali-kali selanjutnya ia selalu bertanya itu, tapi Mei sempurna menghilang,
benar-benar tak mau bertemu dengan Borno.
Mei
Menyibukkan diri di yayasan tempat mengajarnya, bersembunyi, tak mau juga ditemui
di rumah. Berkali-kali menyuruh bibinya berbohong, dan berkali-kali pula Borno
merepotkan bibinya dengan menitipkan secuil kertas sobekan, menulis pesan
singkat untuk Mei. Berhari-hari seperti itu, sampai akhirnya Borno memutuskan
berhenti dan mengetahui mei kembali ke Surabaya.
Lagi-lagi
meninggalkannya.
Enam
bulan mei pergi, setahun lagi terlewati. Borno masih saja bertanya dalam hati
tentang itu, “kenapa?” memikirkan mei di sela-sela kesibukannya. Mei yang
ditunggunya belum juga memberi jawaban untuk pertanyaannya selama ini. Persiapan
lomba balap sepit, dan semua kisah peramai cerita ini membuatnya semakin dekat dengan sarah, diakui
atau tidak ia merasa nyaman bercerita pada Sarah. Tentang perasaannya pada Mei,
harapannya, pertanyaannya dan segalanya tentang Mei.
Jawaban
itu datang sendiri ketika borno sampai di Pontianak setelah jalan-jalan
hebatnya bersama sarah dan rombongan lainnya, baru saja merapat di loket,
tengah malam, saat Borno baru saja menjejakkan kaki di pelataran jalan.
Bibi
mei datang, menjelaskan kalau Berbulan-bulan akhir ini Mei sakit parah. Entah karena
apa. Kejadian yang sama persis seperti yang dialami ibunya. Hingga akhirnya
bibi mei terpaksa membocorkan rahasia ini padanya, kalau angpau yang masih disimpannya
rapi sampai sekarang itu tak lain adalah surat pemberi jawaban itu sendiri. Surat
yang membuka misteri tentang Mei, tentang masa lalu Borno, dan juga tentang
pertanyaannya selama ini. Dan borno seketika memutuskan menjemput kalimat hebat
nan menakjubkan yang pernah pak tua sampaikan dulu.
***
Selepas
kejadian itu, kehidupan borno benar-benar berangsur membaik. Benar-benar tak
ada lagi kehilangan. Ia kembali menarik sepit, ia kuliah menjemput mimpinya
yang sempat tertunda. Bengkelnya maju pesat, bahkan ia sudah bisa membuka
cabang di jalan paling besar di kota istimewa itu.
Dan
mei? Borno membesarkan hati untuk melupakan kejadian itu, memberikan definisi
berbeda tentang arti cinta. Untuk terus mencintai meski pernah ada duri yang
sempat menghalangi.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida