judul
: sepatu dahlan
pengarang
: khrisna pabichara
penerbit
: noura books
tebal :
392 hlm.; 14x21 cm
harga
: 62. 500
novel
ini berkisah tentang dahlan. seorang pemuda pekerja keras, dengan situasi dan
kondisi keluarga yang sebenarnya tidaklah begitu miskin. masih memiliki
pekerjaan, semangat juang, juga pemahaman yang baik tentang bagaimana menjalani
kehidupan.
tentang
dahlan dan keluarganya, tentang dahlan dan buku harian. dan dahlan yang
bermimpi besar memiliki sepatu, juga sepeda. entah mimpi, entah hanya keinginan
yang harus terlaksana. tapi melecutkan semangat mudanya.
dalam
kisah ini, diselingi beberapa kisah tentang tetangga, tentang pertemuan dan
perpisahan yang menyakitkan, tentang sahabat-sahabatnya dan juga beberapa
cerita dari sekitar tempat tinggalnya. sumur pembuangan pejuang, ibunya yang
sakit, tentang tuan tanah dan penjaga kebun alias mandor perkebunan
berhektar-hektar yang menguasai kekayaan
alam di desanya. tentang sejarah pesantren takeran, dan juga abdinya pada orang
tua, juga pada pesantren itu.
ada
3 bagian yang paling, paling saya sukai.
yang pertama.
adalah
bagian ketika dahlan, yang sedari kecil. sudah begitu menyukai menulis. berbagi
sepotong kehidupannya di masa itu dalam selembar kertas, meski hanya beberapa
baris. tapi penuh makna. menunjukkan betapa berkarakter pemuda yang masih labil
di umurnya yang masih belia.
dahlan
kecil yang sudah terbiasa merasa salah, lantas meminta maaf, dengan penggambaran
seperti ini “maafkan dahlan ya bu ..
“ tiap kali khilaf menyakiti atau melawan ayahnya. tiap kali melakukan
kesalahan pada zain adiknya, dll. dahlan yang berlapang dada. meski hanya
dituangkan dalam tulisan. tidak semerta diungkapkan.
bagian yang kedua.
selalu
menjadi bagian yang saya suka. rasa yang tumbuh tanpa diduga, tanpa disemai
juga tentunya :p, ya, ketika dahlan bertemu gadis bermata indah. namanya aisha,
anak salah satu mandor yang pernah memergoki dahlan mencuri tebu di ladang yang
dijaganya, hanya untuk menghalau lapar adiknya ketika ibunya sedang sekarat,
dan tak ada siapapun di rumah kecuali dahlan.
aisha,
gadis bermata indah yang selalu ditunggu dahlan di depan rumahnya. berharap
bisa melihatnya, meski sekadar ketika aisha sedang menjemur pakaian.
meski
hanya sepenggal-sepenggal saja dimasukkan dalam cerita. karna lebih banyak
tentang kehidupan dahlan di bagian usaha dan perjuangannya melawan rasa lapar,
menjadi sabar. tapi, bagian rasa suka menyukai selalu jadi bagian menyenangkan.
menyegarkan, entah meski berakhir bahagia, atau malah menyesakkan. tapi di
bagian buku seri pertama ini, masih terlalu mengambang, tak bisa diduga
bagaimana kelak lanjutannya.
bagian yang ketiga.
bagian
puisi. dalam tulisan-tulisan dahlan tiap kali merasa sedih, jenuh, dan bosan.
kalimat terakhir, penutup yang membuat tersipu. padahal jelas bukan untuk saya
tulisan itu :p
begini
kalimatnya “ apapun itu, aku suka matamu”.
bukankah
itu lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa terpesonanya dahlan pada aisha?
juga sudah menjelaskan betapa mempesonanya mata yang dimiliki aisha. meski
kedudukan mereka begitu berbeda.
tapi,
yang bisa saya tangkap adalah. novel ini bekerja penuh untuk menjelaskan kepada
pemuda lainnya. untuk terus berbuat sekuat tenaga demi mewujudkan apa yang jadi
mimpinya. bahkan, untuk sekedar membeli sepatu bekas saja, dahlan awalnya hanya
bisa bermimpi. sepatu saja begitu sulitnya untuk diusahakan olehnya.
dahlan
tetap semangat. angon kambing, berjalan menuju sekolahnya tanpa alas kaki. berusaha
jadi yang terbaik semampunya. bukan menunggu maunya.
kekurangan
di buku ini adalah, harganya yang terlampau mahal. entah karena menjadi best
seller. atau entah alasan apa, terlepas dari seribu rupiah dari tiap penjualan
yang akan disumbangkan untuk gerakan sepatu itu. tetap saja, hal yang dinilai
terlalu mahal sulit sekali dilampaui dan dibagi kepada banyak orang.
kelebihannya,
penceriteraan tidak terlalu berbelit-belit. bahasa yang digunakan pun tidak
terlampau sulit, atau tinggi. sehingga mudah dipahami. biasanya dalam catatan
harian, surat menyurat itu panjang, tapi
dahlan memilih jadi peringkas cerita, yang tetap mengena. walaupun sebenarnya
saya agak malas membaca bagian tentang sejarah-sejarah (jangan ditiru!)
yang
jelas, yang harus ditiru adalah pengabdiannya pada orang tua, tawadhu’, asal
benar maka diikuti. bertanggung jawab pada apa yang dibebankan dan jadi
tanggung jawabnya, sebagai anak, sebagai kakak, dan sebagai seorang murid. tentang
usahanya, kesabarannya meski hanya menunggu untuk mendapatkan sepatu, dan tak
juga jadi lelaki yang suka mengumbar janji pada aisha. cukup sadari realitanya.
dan
penutupnya, terima kasih buat saudara terbaik yang sudah membelikan dan
memberikan buku ini untuk saya. semoga jadi tiket kebaikan yang akan menyebar
luas, lewat buku, untuk pemahaman dan perjuangan baik. untuk saya, dan kemudian
melebar ke segala arah manusia. amin.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida