/1/
Jangan
Tanya pada ibuku tentang Kartini, perempuan yang dimiliki kala perjuangan dengan
segudang upayanya mengentaskan wanita dari ketidakberdayaan. Atau jangan lagi
menggurui ibuku tentang emansipasi. Cih, Makanan apa itu? kata ibu. Ibu
mengenali keduanya sejak dulu tanpa harus ulurkan tangan sambut perkenalan,
Ibu
menjadi salah satu penganut Kartini masa kini. Siapa yang bilang bahwa
emansipasi menyenangkan? Siapa yang bilang emansipasi menjadi standar kepuasan
tingkat kemanusiaan? Persamaan? Ah, itu hanya dalih mereka para perempuan yang
sejatinya malas dikungkung aturan, dibatasi suami, diceramahi. Ai, sesungguhnya
yang mereka elu-elukan hanya kebebasan, bukan penyamarataan.
Sudah
bertahun-tahun ibu jadi penopang hidup keluarga, tanpa banyak bertanya dan
mengeluh bahwa sesungguhnya yang terjadi dalam kewajaran adalah lelaki yang
menafkahinya. Bukan ibu, atau aku sekalipun. Pontang-panting ibu mengurusiku
sendirian, melakukan urusan lelaki dengan tangannya sendiri- keringat asinnya
sendiri. Manjat pohon kelapa, mbenerin
genteng, apapun pekerjaan lelaki di desa ibu sudah sejak dulu terlatih
melakukannya. Bapak- yang katanya jadi
penurun sperma yang membibit menjadi tubuhku kini, tak tahu dimana rimbanya.
Tak tahu menahu aku dimana sekarang tempat tinggalnya. Bahkan wajahnya saja aku
tak tahu, di rumah tak ada satupun foto yang memampang wajah bapak. Aku sempurna
buta tentangnya.
Bapak
minggat dari rumah kata ibu. Entah itulah kebenaran, atau hanya cerita karangan
ibu untuk membuatku diam, menyumpal mulutku yang terus nyinyir bertanya ini
itu. Aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam keluarga ini. Toh saat bapak
pergi aku belum bisa bertanya bapak mau kemana? Bapak Kenapa? Atau bagaimana?
Mungkin waktu kecil dulu, saat bapak terpaksa atau dengan sukarela meninggalkan
rumah dan membawa serta hartanya, aku hanya bisa menatapnya nanar dan merengek
minta digendong. Tapi apa daya, bapak lebih memilih menenteng tasnya tinimbang
membawaku ikut serta.
“Kau
ini anak incubus, Hush, jauh-jauh sana!” Bu Darmo yang melihatku bermain dengan
anaknya berteriak lantang menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku mengernyitkan dahi,
kebingungan. Menahan tangis karena dipelototi.
“Siapa
itu incubus? Aku tak kenal”
Bu
Darmo kasar menyuruhku pergi. Tak akan membiarkan aku dan Siti main lagi
bersama. Katanya aku ini anak setan, katanya aku anak bawa sial, dan aku pulang
dengan menyimpan kata-kata umpatan serta hinaan itu di kepala. Terlalu banyak versi
dari mulut-mulut yang hobi berspekulasi.
Mereka
lakukan itu padaku berulang kali, setiap hari. Bahkan mungkin jika kukumpulkan kata demi kata dari
orang-orang yang menghinaku di desa, tak akan muat satu buku untuk
menuliskannya. Tidak tahukah mereka bahwa setiap anak yang lahir ke dunia berwajah
suci? Urusan bagaimana bisa dia hadir, urusan orang tua mereka. Dan melimpahkan
kesalahan orang tua pada anak sungguh suatu dosa yang amat kejam, fatal.
Tiap
kali aku berjalan bersama ibu, mereka hanya akan berbisik-bisik dan menatap
jijik kami berdua. Mengasingkan kami , padahal toh salah apa kami pada mereka,?
Sudah benar-benar sucikah mereka? Tapi ibu bilang biarkan saja. Dan setelah
itu, aku hanya bisa tersuruk menangis di pangkuan ibu karena lama kelamaan tak
ada seorangpun yang diijinkan bermain denganku.
Aku
sendirian, kesepian. Semuanya melarangku dekat-dekat dengan anaknya.
Ah,
salah apa aku Bu.
“Incubus
itu siapa?” Tanyaku pada ibu di sela-sela membantu mengiris sayuran di dapur
bersama ibu. Memilih menyibukkan diri di rumah bersama ibu yang tak akan
menghinaku, menunjuk-nunjukku seperti anak sehabis maling jemuran atau mencuri
tela milik juragan Warno. Ibu mengerutkan dahi, siapa yang bilang? Mungkin
begitu arti raut wajahnya.
“Apa
incubus itu nama bapak, bu? Tapi apa salahnya dengan nama bapak hingga aku tak
diperbolehkan bermain dengan mereka? Apa dulu semasa hidup bertetangga bapak
suka berbuat onar, atau bapak suka mencuri seperti yang bu Darmo bilang? Aku
mengulum liur. Pertanyaan itu memenuhi kepala.
Ibu
menggeleng, “Bukan, Le” bapakmu bukan setan. Bapakmu manusia, sama seperti
kita. Bernafas, dan nggak seperti yang dibilang Bu Darmo”.
Setelah
mengentaskan kalimat itu, ibu memilih diam dan meneruskan memasak. Kupikir tak
ada gunanya juga memaksa, ibu sudah terlampau lelah mengurusiku dan mencari
uang agar asap dapur kami tetap mengepul.
Untuk
pernyataannya yang meyakinkanku bahwa bapak adalah seorang manusia, aku tetap
saja tak percaya.
/2/
Menginjak
masuk sekolah dasar, semakin banyak mereka yang mengataiku macam-macam. Mulai
dari anak haram, anak setan, anak batu. Ai, kenapa semakin banyak kosakata yang
membingungkanku. Ibu lagi-lagi bilang biarkan saja. Ibu tetap bersikukuh
bungkam, setiap inci kerutan dari macam pertanyaan itu kurasakan sebagai
tekanan demi tekanan. Ibu terlalu asyik menyimpan rahasia – hingga sampai
umurku menjelang dua puluh tahun – tentang siapa nama bapak, bagaimana cerita
tentangnya, atau kenapa dulu ibu bisa jatuh cinta, tak akan kudapati jawaban
selain wajahnya yang datar.
Hingga
akhirnya aku memilih mencari sendiri jawaban dari segala macam hinaan dan cerca
orang-orang. Kupikir alasan yang ibu bilang tentang bapak yang minggat boleh
jadi benar. Atau mungkin, itu semacam pengalihan agar aku tak tahu bahwa
sebenarnya aku yang kata orang adalah anak incubus itu terkesan lebih
meyakinkan tinimbang tahu lahir dari benih seorang bapak dan berwujud manusia
tapi tak kutahu dimana batang hidungnya.
Semuanya
tetap saja terasa janggal.
Incubus
yang tak berbeda jauh dengan mitos tentang kolor ijo di masyarakat menjadi
momok dan cerita kelam bagiku. Benarkah bapakku sejelek dan seperti raksasa
macam kolor ijo? Atau sewaktu ibu tidur dulu, setan atau
iblis bernama incubus itu tak kuasa menahan syahwatnya karena ya namanya juga setan, memang tidak berakal. Siapa yang tahu? Fikiran kita sangat hebat untuk membuat skenario tanpa batas seperti itu.
Tahu-tahu,
kata Nyai yang kutanyai hal yang sama; perut ibu tiba-tiba mblendung. Tiba-tiba perut ibu besar sendiri tanpa ada yang tahu,
sekembalinya dari kota. Dan setelah hampir tujuh bulan tinggal di desa aku
dilahirkan. Itu lagi yang membuat orang keheranan, menguatkan keyakinan mereka.
Aku keluar sebelum wajah kehamilan berakhir, Sembilan bulan. Sementara tentang
fakta itu, hanya ibu yang tahu.
Barangkali
saja aku sudah berumur Sembilan bulan, dan saat kembali ke desa janin di perut
ibu sudah berusia dua bulan. Atau, aku memang terlahir premature. Bukan seperti yang mereka bilang bahwa aku anak setan,
aku anak setengah immortal yang lahir
tanpa butuh waktu Sembilan bulan. Kurasa tetanggaku saja yang suka omong besar.
Kalaupun
iya aku anak incubus, keturunan setengah manusia dan setengah iblis bejat itu,
dimana kemiripan kami berdua? Tak ada secuilpun keahlian yang kumiliki seperti
setan-setan di luar sana. Aku memang menjijikkan kata orang, itu karena mereka
yang terus beranggapan bahwa aku memang dilahirkan dari benih setan. Tapi
selebihnya, lihatlah! Aku tak punya dua sisi tanduk berwarna merah di atas
kepalaku yang menyembul di sela-sela rambut. Aku juga tak bisa menghilang, aku tak bisa
merayu, menggoda, mengubah bentuk jadi apa atau siapa, atau punya kesaktian
tersendiri macam Ki Badrun yang terkenal seantero kampung ini.
Lalu
dimana konon katanya benih itu menyebar ke dalam tubuhku? Harusnya sebelum
mereka sibuk memberiku gelar di belakang namaku, teliti lebih dulu mana yang
paling patut dijadikan pembenaran memojokkanku dan ibu.
Tentang
perasaan yang tak pernah puas? Umpatan kasar? Kalimat bernada menyakitkan? Atau
nafsu-nafsu di balik syahwatku? Bukankah semua ini sama saja. Semua
manusia kukira pernah khilaf melakukannya, sepertiku. Maka boleh jadi aku yang
menyerupai iblis, atau mereka yang mengolokku yang sejujurnya iblis.
Entah,
hingga ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Tembok diam ibu tampak seperti raksasa
bagiku.
/3/
Seorang
lelaki berpakaian hitam, berbadan tinggi besar, berkacamata hitam, dan semua
serba hitam datang di pemakaman ibu. Dari sekian banyak tamu yang datang
melayat, mengantar ibu sampai di pemakaman. Hanya dia yang sejauh ini terlihat
begitu mencolok, dan mencurigakan.
Aku
tak pernah mengenalnya, bahkan sekedar melihatnya berkeliaran di sekitar desa
ini. kutanyai pada Nyai, nyai juga tak mengenalnya.
Maka
sejak tadi tak lepas mataku memandangi gerak-geriknya. Dia menangis tersedu,
berlutut, mengelus-elus nisan ibu, sementara yang lain hanya menatap diam tanpa
banyak bicara. Menikmati keheningan mengantarkan nyawa-nyawa berpulang
keharibaan. Atau kalau tidak mereka akan mengucap bela sungkawa padaku, pada
Nyai. Mengelus bahu kami dan memberikan siraman rohani – yang tabah ya, ini ujian, begitu kata mereka.
Tapi
lelaki itu tak sedetikpun menatap kami, menyalami kami berurutan seperti
pelayat lainnya. Lelaki itu kuakui, paling khusyuk tepekur menghantar ibu. Kulihat
lelaki serba hitam itu berulang kali mencengkeram gundukan tanah yang masih
basah menggumuli tubuh ibu. Menangis tertahan. Kuperhatikan dia dari balik
pohon besar di seberang jalan. Kudengar sama-samar suaranya yang merintih
meminta maaf.
Kupasang
telinga rapat-rapat, berusaha mendengar apa saja yang dikatakannya pada
mendiang ibu yang sudah terlanjur dikebumikan. Dan samar samar kata maaf, penyesalan, kesedihan kudengar. Tak ingin kulanjutkan meski setengah mati penasaran.
Lelaki
itu menangis terisak, tak kusangka kalimat demi kalimatnya membuat dadaku
sesak. Seperti mencengkeram jantungku dan memaksanya segera keluar paksa dari
tempatnya bersarang.
Kunikmati
menatap punggungnya dari belakang. Mengenali sesosok manusia yang kupertanyakan
sejak dulu. Kini pertanyaan itu sepertinya terjawab sudah setelah 20 tahun kehidupanku berjalan dan keberadaannya mulai terlupakan.
April. 2013
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida