Ruangan
di hadapanku berubah lengang. Luas!
Mataku
mengedar pandang ke seluruh sisi. Dua bayangan samar-samar itu tampak berdiri
di kedua sisi mak Inang. Yang satu di sebelah kiri, yang satu di sebelah kanan.
Aku melihatnya begitu jelas, dua bayangan itu bergulat hebat, sepertinya yang
satu Nampak tenang- dan yang satunya meledak-ledak. Aku tak tahu siapa mereka. Tak
ada mata, hidung atau apapun, hanya seberkas cahaya yang Nampak silau. Hanya
saja, sepertinya mereka sedang beradu mulut.
Mak
Inang berdiri kaku memegang parang dengan mata menyiratkan amarah. Kepalan
tangannya yang kencang bisa kurasakan sebagai emosi yang lama tertahan. Mendidih
di ubun-ubun. Di hadapannya kini berdiri anaknya yang sedang mengobrak-abrik
isi lemari.
Mak
Inang adalah tetangga rumahku. Hanya selisih beberapa langkah maka akan kau
dapati rumahnya yang hampir berdempet dengan tembok rumahku. Aku mengucek-ucek
mata. Benar. Itu benar Mak Inang yang sedang membawa parang. Sedang anak
bujangnya yang sejak tadi diawasi dari belakang tak menyadari bahwa sejatinya
sejak tadi Mak Inang berada di belakangnya.
Oh!
Aku menutup mulut. Parno sedang membuka-buka surat-surat di dalam lemari. Dia
mencari sertifikat rupanya.
Aku
diam, berusaha tak mengeluarkan suara. Keadaan Mak Inang yang sedang dilibat
kemarahan, dan Parno yang tak menyadari keberadaan emaknya itu sedikit banyak
membuatku merinding. Apa yang harus kulakukan? Begitu pikirku. Sementara jika
aku menasihati Mak Inang, pasti aku kena tebas parang tajam itu. tidak, aku
tidak mau mati di tangan mak Inang.
Berteriak
pada Parno? Uh, bagaimana mungkin? Nanti bagaimana kalau aku dikejar orang
se-kampung gara-gara ikut campur urusan orang? Lagipula semua mengenal Parno.
Preman kampung yang suka sekali memalak ibunya sendiri. Meminta paksa apa yang
diinginkan, kalau tidak. Maka siap-siap saja mendengar teriakan mak Inang yang
ditendang Parno gara-gara dompetnya dibawa lari. Dan setelah itu,
tetangga-tetangga akan datang membopong badan tua mak Inang sembari memberi kekuatan.
Maka
kali ini sejujurnya aku yang dibuat kebingungan, biasanya Mak Inang hanya akan
mengelus dada dan mengucap istighfar. Tapi sekarang?
Kudengar
samar-samar suara bayangan itu tertangkap.
“Jangan
mak, itu anakmu. Darah dagingmu, Mak”. Begitu suara bayangan di sisi kanan.
“Sudah,
tebas saja! Tidak usah pikir panjang! Anak durhaka pantas tinggal di neraka. Bunuh
saja. Hidup juga nggak ada gunanya” timpal bayangan di sisi kiri.
Aku
makin merinding mendengar bisikan-bisikan itu.
“Ayo
mak, dengarkan suara sisi kanan saja. Kanan saja mak!” aku berharap-harap cemas
menyaksikan dari kejauhan. Tak bisa berkutik, apalagi mencegah badan mak Inang
yang sekarang Nampak sebesar raksasa. Dan aku semut yang tak punya kekuatan
apa-apa.
“PRANG!”
“CRAT!”
parang itu terlempar di sisi kanan tubuhku. Aku berlari secepat yang aku bisa,
berkelit. Menjauh dari lemparan parang. Darah segar mengucur dari kepala Parno.
Keringat dingin mengucur deras dari dahiku. Aku menarik nafas panjang. Oh
tidak! Tidak mak! Aku jirih melihat darah-darah di parang itu. Bayangan di tepi
kiri tersenyum puas.
Mak
Inang lemas, bersimpuh di lantai yang sudah penuh dengan genangan darah.
Tapi
… sebentar sebentar, ini di rumah mak Inang? Bagaimana bisa aku berada
tiba-tiba di rumah mereka? Bukankah tadi aku sedang tertidur di rumah?
Dan
… ekorku terputus kena tebas parang? Ini apa?
***
Sudah
pukul satu dini hari. Mataku belum mau dikatupkan untuk istirahat. Bayangan
istriku yang belum pulang. Bayangan tebasan parang yang tak dipercayai tetangga
membuatku tak bisa tidur nyenyak. Sudah
kubilang berulang kali pada tetangga, bahwa mak Inang marah karena Parno hendak mencuri. Karena Parno mengobrak-abrik isi perabot mak
Inang, aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Tapi tak ada siapapun yang percaya
padaku.
Mereka
bilang aku hanya sedang berhalusinasi karena kebanyakan nganggur, ngelamun.
Ditambah lagi pernyataan istriku bahwa, aku tertidur pulas sampai jam tujuh
pagi. Mereka pikir aku sedang berbual, padahal ini sungguhan.
Kepalaku
mendadak pusing. Kutengokkan kepala di jam dinding sebelah timur kamar, jarum
jam itu lamban bergerak, namun ini sudah benar-benar malam.
Sebenarnya
kemana istriku pergi? Dan bagaimana bisa semalam aku tiba-tiba sudah sampai ke
rumah mak Inang?
Sudah
sebulanan ini istriku selalu terlambat pulang. Alasannya lembur. Banyak
kerjaan. Awalnya kumaklumi semua alasan yang keluar dari mulutnya. Tapi
akhir-akhir ini, dia sudah mulai keterlaluan. Mulai berani membantah, bahkan
selalu pergi lebih dulu sebelum mengantar Rizky sekolah. Tapi aku tak bisa
berkutik, dengan status yang kini jadi pengangguran aku memang lebih banyak
menyampirkan beban pengeluaran di pundak istriku. Mau apa lagi? Aku memang
sedang tidak berguna kali ini.
Kuamati
seisi kamar berukuran 4x6 yang kutiduri. Senyap, hanya ada aku dan
tembok-tembok diam. Dan ya, ada seekor cicak yang sedang menempel tepat di atas
ranjangku. Mungkin sedang menatapku. Posisinya persis di atasku, aku yang
terlentang menatap langit-langit kamar. Sedang dia justru menghadapku dengan
posisi punggung di bawah. Seperti biasa.
Aku
diam, memperhatikan cicak itu. entah kenapa cicak itu justru membuatku berpikir
bahwa dia sedang terus mengamatiku sejak tadi. Pertanyaan demi pertanyaan
muncul di benakku, hei sejak kapan muncul cicak itu? Kenapa sepertinya sejak
tadi dia tak bergerak kemana-mana? Kepalaku mulai memproduksi ribuan pertanyaan
aneh.
“Hei.
Mata itu! Mataku bertubrukan dengan mata cicak itu.
Untuk
kali kedua Keajaiban terjadi. Tiba-tiba rohku seperti ditarik ke atas dan hei, aku
hampir saja jatuh, badanku menempel di
langit-langit kamar. Kejadian itu terulang lagi. Dimana tubuhku? Bisa
kusaksikan tubuhku yang tertidur di bawah dan kini rohku menempel di raga cicak
tadi? Jiwaku benar-benar tertukar?
Oh.
Aku berubah jadi seekor cicak? Merayap di dinding, ekor, mata tajam, ah, ini
semua sungguh seperti mimpi.
Tiba-tiba
engsel pintu diputar terdengar dari arah luar. Aku segera berlari ke ruang
tamu. Memastikan apakah dia istriku atau bukan. Kugoyangkan badan-badan mungil
itu lincah, ekor-ekor yang setiap saat bisa terlepas itu mengikutiku sigap.
“Kamu
ati-ati ya mas?” Suara wanita dari luar yang terdengar begitu manja. Itukah
istriku? Tapi dengan siapa dia di luar?
“Iya
kamu juga. Pelan-pelan, nanti suamimu bangun. Ketemu lagi ya besok”
Aku
mengendap-endap menuju balik engsel pintu. Pemandangan itu membuat bibirku
spontan kelu, aku terperangah. Itu istriku! Dan Pak Lurah? Sedang apa dia
malam-malam bersama istriku? Aku benar-benar diliputi perasaan marah. Emosiku mendidih.
Dan sedetik kemudian, pak Lurah justru mengecup kening istriku lebih mesra.
“Cicak
sialan! Hush!”
Tubuhku
dibuangnya kasar ke lantai. Sial! Berusaha kujatuhkan badanku ke tubuh pak
Lurah karena tak terima tubuh istriku dipegang-pegang olehnya, bahkan
diciuminya berulang kali.
“Sssst!
Jangan berisik mas, nanti suamiku bangun”.
Suara
itu kini mengalun lirih. Aku menyimpan emosi berbarel-barel di hadapan mereka. Mataku
menyalak tajam. Seandainya ada parang di tanganku seperti malam kemarin saat
aku melihat mak Inang dan Parno, tentu akan langsung kulemparkan ke tubuh pak
Lurah sekarang. Tapi bisa apa aku?
Tubuhku
tiba-tiba menjelma jadi cicak yang tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa berkutik.
Ternyata ini yang selalu istriku kerjakan di luar rumah. Pamit hendak bekerja,
dan Rizky dititipkannya padaku karena aku yang hanya pengangguran.
Dan
sebelum aku sempat mengejar istriku ke dalam rumah.
“KLIK!”
pintu rumah sudah lebih dulu dikunci. Aku
meringkuk kedinginan di ventilasi luar.
***
Dua hari berturut-turut aku diberi
pertunjukkan yang sungguh mengejutkan. Yang pertama Parno yang tak sengaja
ditebas parang oleh Mak Inang. Kini kedua kalinya kudapati istriku main serong
dengan pak lurah. Kutukan apa ini?
“Sama
siapa kemarin kamu pulang, ha?” aku melotot tajam pada istriku yang tampak
tenang-tenang saja.
“Sama
siapa? Aku sendirian, mas”.
“Halah,
jangan bohong kamu! Kamu sama pak lurah kan? Berani selingkuh kamu dari aku?”
Mata istriku tampak kaget. Namun sikapnya tetap tenang. Tak seperti aku yang
terus memojokkannya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Sungguh, aku sedang ingin
marah karena ketidakberdayaanku menjaga istri sendiri.
“Aku
tahu! Aku juga tahu kemarin mak Inang mbunuh Parno. Mau ngelak apalagi kamu?”
Istriku
tertegun. “mas ini ngomong apa sih?”
“Sudah,
kamu nggak usah ngeles. Kemarin aku berubah jadi cicak dan bisa ngliat kalian
main serong. Aku bisa ngliat semuanya pake mata cicak”.
Istriku
malah tertawa. “Mas ini kenapa? Sudah, aku mau kerja. Titip Rizky ya?”
Aku
refleks menutup mulut. Berubah jadi cicak? Siapa yang percaya? Dan Oh Tuhan!
Kenapa bisa jiwaku yang tiba-tiba ditempatkan dalam tubuh cicak untuk tahu
semua kebusukan itu? Sepertinya aku sedang diuji dengan rentetan kejadian
membingungkan ini? Aku bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat banyak mata.
Dan aku yang bisa menyadari apa kesalahan-kesalahan di luar wewenangku.
Hei,
jangan-jangan cicak itu hendak menyindir tingkah polahku? Memata-mataiku sejak
dulu? Tahu aku yang culas menilep uang kantor dan memberi makan anak istri
dengan uang haram? Jangan-jangan mata cicak itu tahu semua kebusukan yang
kuperbuat?
Seperti
tersadar dari mimpi buruk, aku mendesis. Duh gusti! Ternyata, mata cicak itu
tahu Bangkai dimana-mana.
Jogjakarta, 26 April 2013
Dimuat di Website Arena Edisi Awal 2013
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida