Sebelum
bicara pada ranah inti, ada baiknya kita memaklumi dengan jelas bahwa selalu
ada perbedaan imajinasi yang dituangkan dalam sebuah buku – dan kemudian
diangkat ke dalam layar lebar. Ya, sudah pasti akan ada banyak perbedaan. Entah
itu gambaran tokoh ideal, latar, atau jalan cerita itu sendiri. Untuk mendeskripsikan
suatu keadaan, atau ekspresi yang terdapat dalam suatu tokoh novel tentu saja
tidak akan selalu sama karena lagi-lagi persepsi dan ekspektasi pembaca jauh
dari standar. Semua orang punya pikiran. Sehingga dari persepsi dan ekspektasi
itu tidak dapat diseragamkan. Jadi saya jelas memahami bahwa kritik dan saran
mengenai film yang diangkat dari suatu novel sudah pasti akan menuai banyak
komentar, dan tulisan saya ini hendak memberikan review dari kacamata saya
sebagai pembaca setia novel ika natassa – dan penonton filmnya.
Saya
sungguh mengapresiasi IKA NATASSA sebagai penulis novel ini, gaya bahasanya
yang mengalir – kadang saya seperti mengalami perasaan yaaanggg “ini
gaya gue banget, bikin ngakak, dan yang paling parah bikin mesam mesem sendiri”,
dan sederet kalimat indahnya dia yang simple
membuat saya berekspektasi tinggi terhadap film ini.
Apalagi,
pemainnya kece-kece bukan? Siapa yang nggak kenal reza rahadian? aktor yang
beberapa tahun terakhir mengambil hampir seluruh porsi pemain laki-laki dalam
suatu film. Aktor yang berulang kali masuk kategori awards dan bahkan
memenangkannya. Sampai setelah saya melihat trailernya di instagram, dalam hati
saya berniat begini “SAYA HARUS NONTON
FILM INI, BANGET!”
Tapi
lagi-lagi, suatu karya tidak akan lepas dari komentar, dari kritik dan saran,
dan film ini tentu tidak luput dari sasaran. Berikut beberapa komentar yang
bisa saya sampaikan :
1. Pemain terlalu banyak, tapi minim
dialog
Oke,
kita bisa lihat sederet artis papan atas yang turut serta meramaikan rilis film
ini dan roadshow di bioskop beberapa
kota besar. Lihat saja reza rahadian, adinia wirasty, refalhady, revalina s. Temat,
slamet rahardjo, widyawati, dan masih banyak lagi – siapa yang menyangkal
kehebatan akting mereka semua? Tidak ada. Sekalipun ada beberapa
artis baru, saya pikir seluruh yang berperan dalam film ini sudah punya riwayat
yang menarik soal akting.
Tapi,
yang saya sayangkan, kehadiran mereka cuman jadi bumbu manis pelaris marketing
film. Mereka kehilangan karakter, sangat minim dialog. Oke bolehkah saya bilang
kalauu film ini terlalu fokus kepada reza dan adinia saja?
Padahal
banyak sekali scene yang seharusnya bisa jadi bumbu untuk menonjolkan kehebatan
akting aktor/aktris lainnya dengan dialog yang bagus sebagaimana IKA NATASSA
lancar menulis naskah novelnya. Dalam beberapa scene, hamish daud, mikha
tambayong, refalhady, dan lain sebagainya tersebut ada dalam gambar namun tidak
sedikitpun membawakan dialog. Hanya diam, tersenyum, benar sebagai pemanis
bukan? Saya pikir rugi rasanya sudah merekrut para cast yang begitu mumpuni tapi tidak memanfaatkan talentanya.
2. Karakter tidak terlihat
sebagaimana di novel
Mungkin saya naif dengan menyatakan
hal ini, tapi karakter ALE yang seharusnya cool – tidak banyak bicara –
penyayang, tidak saya dapatkan disini. ALE justru seperti mengambil karakter
adiknya dalam novel (HARRIS) yang banyak bicara, periang, dan HARRIS justru
yang jadi tidak banyak bicara.
Begitupun dengan ANYA yang seharusnya
digambarkan sebagai perempuan muda/eksekutif muda yang kuat, berhati baja,
justru tampak seperti wanita yang lemah – dan sensitif. Abaikan penilaian saya jika ini salah, tapi
karakter tersebut juga terjadi pada teman-teman ANYA, adik perempuan ALE.
3. Jalan cerita banyak yang berubah
dan tidak fokus
Mulai dari awal film dibuka, (cerita berlatar
pesawat) adegan yang harusnya tidak sengaja tertidur di bahu ALE tidak diambil.
Kelas pesawat justru dirubah dengan kursi super nyaman dan mereka hanya sekedar
berbincang, padahal apa salahnya menggunakan latar pesawat ekonomi dan sesuai
dengan jalan cerita? Rasa-rasanya akan lebih manis dan lucu gambaran tersebut
jika dimasukkan sebagai pembuka cerita.
Kemudian kepindahan ANYA yang sebenarnya
merupakan tugas kerja selama beberapa minggu berubah menjadi ANYA yang
memutuskan berhenti kerja dan ikut suaminya ke New York. Oke mungkin ini masih
bisa dimaafkan, tapi perubahan jalan cerita soal kejutan untuk ALE dari HARRIS
oleh ANYA benar-benar kurang greget. Ada
beberapa miss dialog yang membuat penonton bingung, meskipun akhirnya paham
karena ending tidak jauh berbeda dengan jalan cerita di novel.
4. Pesan tidak dapat sampai secara
jelas
Lagi lagi, akhirnya yang terpenting
dalam suatu cerita, baik cerpen, novel, atau film adalah pesan yang hendak
disampaikan kepada pembaca. Sejauh yang saya rasakan, saya sulit menerima pesan
dari film ini karena terlalu fokus mengamati terlalu banyak kekosongan dialog
dalam cerita ini. Plot yang banyak berubah, karakter tidak terbangun secara
jelas, meskipun chemistry pemain utama bisa dikatakan sangat baik. Tapi,
bukankah pesan dalam suatu cerita yang sampai kepada penonton merupakan salah
satu bentuk keberhasilan sutradara dan penulis skenario dalam suatu karya?
Terlepas
dari beberapa kritik yang saya tuliskan di atas, tulisan ini murni hanya hendak
menyampaikan sudut pandang saya sebagai salah satu penonton dan penikmat setia
tulisan IKA NATASSA. Sudah pasti pendapat saya bukan menjadi pendapat umum,
mungkin sebagian ada yang menikmati – dan sebagian lagi hanya merasakan sedikit
kekurangan dalam film. Lebih dari itu, saya berharap semoga film-film yang
diambil dari novel siapapun akan menjadi lebih baik ke depannya dan tentu saja
saya bisa ketularan jadi penulis yang kece, salah satunya IKA NATASSA. Lagipula,
ekspektasi yang terlalu tinggi kadangkala tidak terlalu baik untuk sebuah
karya. Ada baiknya suatu karya yang kita kritik, membuat kita sadar – mereka sudah
membuat karya, sementara kita masih berkutat pada mengomentari karya dan
itu-itu saja.
Salam
dangdut.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida