Saking
sempurnanya manusia, saking hebatnya penciptaan akal manusia, manusia sering
membuat pengecualian – pembenaran –
bahkan hukum bagi suatu keadaan yang dia alami sendiri. Contohnya saja tentang
meng-qadha shalat. Islam sudah mengatur kalau batas minimal seseorang boleh
meng qadha (menggabungkan) adalah dengan kilometer tertentu, jarak antar kota
yang kalau dihitung sampai beberapa jam. Teman-teman saya sendiri, yang hanya
pergi ga sampe 1 jam waktu Yogyakarta parahnya membuat aturan – kalau dimana
saja boleh kok qadha shalat. Allah tau kok kita lagi ribet nih, Allah kan maha
pemaaf jadi gapapa duhurnya jadiin satu aja sama ashar.
Saya
nelen ludah. Geleng-geleng kepala. Ini hukum apa? Herannya saya diem aja sambil
nahan gelisah di ati. Ini kapan saya bisa salat nemu masjidnya.
Kali
kedua, saya mendapati teman-teman saya yang gampang banget meninggalkan shalat
atau keadaan wajib lain dengan alasan – Allah maha pemaaf kok. Allah tau kok
kita lagi ketiduran. Ketiduran memang masuk dalam kategori pemaaf orang lalai
shalat, tapi bukan yang sengaja tidur walaupun sudah dibangunkan.
Saya
nggak habis pikir. Kenapa sebegitu mudahnya kita membuat aturan yang
keliatannya menyepelekan yang sudah mudah, meringankan yang susah, dan bahkan
mengabaikan yang wajib. Dalam keadaan seperti itu, akhirnya mereka membuang
kesalahan dengan bilang = “godaan syaiton nih. Gue digoda muluk. Gimana
gue mau focus kalo diganggu gini muluk”. Menyalahkan memang mudah, jadi
siapa yang bisa disalahin lagi selain setan? Wkkw
Saya
mau nanya nih, yang salah syaitonnya apa kita ya sebenernya?
”Sesungguhnya setan adalah
musuh paling terang-terangan bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5).
Dalil
di atas udah bener. Musuh manusia emang setan. Dia ga mungkin rela kita
melakukan hal-hal baik. Tapi nih, setan ganggu manusia juga ada riwayatnya –
dia mbangkang karna nggak mau bersujud atau menghomarti nabi adam. Jadi dia mau
bales dendam dengan cara apapun biar kita nggak masuk surga. Nah kita apa
alasannya mau nggak berbakti ke Allah kalau semua udah dicukupin?
Iblis
berkata:
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan
Engkau yang lurus. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari
belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). [ QS. Al A’raf : 16 – 17 ].
“Kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka”: Iblis
akan membuat manusia ragu akan permasalahan akhirat (Min baini Aidihim).
“dan dari belakang mereka”: membuat mereka cinta kepada dunia (Wa
Min Kholfihim).
“dari kanan”: urusan-urusan agama akan dibuat tidak jelas (Wa ‘An
Aimaanihim).
“dan dari kiri mereka”: dan manusia akan dibuat tertarik dan senang
terhadap kemaksiatan (Wa ‘An Syama’ilihim).
Dari perkataan iblis tersebut, dia akan
menyerang kita dari segala arah karena diusir dari surga. Dari 4 penjuru. Depan,
belakang, kanan, kiri. Setan akan memanfaatkan semua peluang untuk menyesatkan kita
manusia. Tapi bukan hanya persoalan setan yang akan menyerang saja, mari kita
perhatikan kalimat ini, setan akan memanfaatkan peluang darimanapun. Maka sebenarnya
ketika berhasil melakukan suatu dosa, bukan sepenuhnya kesalahan setan, kita
lah yang memberikan peluang bagi setan untuk digoda. Kita memberikan peluang
bagi mereka, kita yang lengah.
”Sesungguhnya setan mengalir di tubuh manusia seperti aliran darah. Saya khawatir dia akan membisikkan sesuatu di jiwa kalian.” (HR.Bukhari 2038 dan Muslim 2175)
Saya mendengar godaan setan lewat
manapun. Mungkin kalian juga. Seperti isi kepala yang saling bertentangan,
bertengkar, berselisih paham hendak berbuat apa – bahkan hanya se sepele hendak
membeli baju atau tidak. Ketika saya hendak berjamaah, di telinga dan pikiran
saya seperti berbisik “udah nanti aja,
solat di rumah aja, jangan di masjid, masih banyak waktu buat solat, udahlah
kamu istirahat dulu aja baru balik kantor”. Ketika saya hendak membaca
quran saya kembali mendengar bisikan lain, “udah
sih nonton korea aja, tidur, nonton tv, atau ngerjain hal lain aja. Quran ga
bakal kemana-mana kok”.
Saking gencernya perselisihan dialog di
kepala itu, kadang-kadang akhirnya kita terbujuk, kita akhirnya menyerah dan
tidak bergerak untuk berbuat kebaikan. Kita kalah. Ternyata kita lah yang mudah
mendengar rayuan di telinga kita.
Kalimat itu tidak sekali dua kali
terdengar di kepala saya. Setiap waktu, bahkan setiap detik. Setiap kali kepala
saya merencanakan berbuat baik, bisikan untuk melakukan hal sebaliknya
terdengar. Ada saja yang membisikkan di kepala saya untuk menunda solat,
membangkang orang tua, korupsi waktu kerja, tidur pagi, tidak mengaji, nggak
usah puasa bikin laper, nggak usah dhuha nanti telat berangkat kerja dan
sebagainya.
Hal yang tersulit bagi saya adalah
tidak mendengarkan semua kalimat kalimat itu dan tetap bergerak, melakukan
aktifitas yang kita rencanakan, atau bergerak untuk menuju hal baik. BERAT
SEKALI. Ketika saya terbangun di waktu malam, 1/3 malam yang baik untuk shalat
sunnah tahajud, hati saya bilang yuk berdiri – wudhu – lumayan dapet shalat
tahajud 2 s.d 4 rokaat biar ati tenang. Siapa tau nanti jadi kebiasaan. Tapi di
sisi lain hati saya bilang, ya Allah masih ngantuk banget. Tidur sambil wiridan
juga ibadah kan ya Allah?
Akhirnya. Saya bangun dengan penyesalan
di waktu adzan subuh karena melewatkan waktu tahajud yang sia-sia. Dan ini
tidak terjadi sekali dua kali saja. Berkali-kali. Banyak sekali. Godaan itu,
bisikan itu, bahkan terdengar seperti isi hati saya sendiri, tidak ada bedanya.
Sampai saya kadang-kadang takut,
benarkah ini godaan setan atau saya yang sebenarnya kurang iman? Kalau benar
ini setan, dia telah menjalankan tugas dan janjinya. Tapi kalau ini saya,
berarti saya yang tidak menambah iman hingga kalah dengan hal remeh temeh
seperti ini. Mengabaikan solat, tidak ngaji, tidak puasa, tidak melakukan
hal sunnah, bahkan durhaka pada orang tua yang seharusnya jadi jalan surga saya.
Yang menarik, sekali saja kita
mengabaikan hati nurani dan mendengar bisikan itu, saya yakin ribuan jam yang
sudah kita biasakan bisa saja rusak hanya dengan satu kebiasaan. Kita menjadi
meringankan dan bahkan mengabaikan sunah yang harusnya bisa kita kerjakan. Perlahan
tapi pasti kita jadi terbiasa mendengar dan membenarkan alasan-alasan itu, dan
setan menang.
Mungkin
benar itu cara syaitan membuat kita melalaikan perintah sunnah agama, yang
secara halus membuat kita tidak menyadari – kita telah keluar jalur sangat jauuuuh
dari jalan agama. Awalnya kita hanya terlambat shalat, lama-lama kita tidak
shalat. Awalnya kita mengaji sedikit, lama-lama hitungan lembar quran menjadi
benar-benar hanya satu ayat, itupun mendengarkan dari speaker masjid sebelum
shalat. Persis sebelum menyadari itu telah jauh, kita telah kehilangan banyak
hal.
Sama
seperti pengusaha yang gigih, setan begitu giat untuk menggoda kita – masuk melalui
aliran darah, menyerang dari segala penjuru, dan sampai akhirnya mendapatkan setitik
peluang untuk menggoda berbuat maksiat, kesempatan yang baik itu (bagi setan) pasti
tidak akan dia sia-siakan.
Imam
al-A’masy
menceritakan: Saya pernah mendapat informasi dari seseorang yang bisa berbicara
dengan jin. Jin mengaku, “Tidak ada manusia yang paling berat untuk kami goda,
melebihi orang yang mengikuti sunah. Sementara orang yang mengikuti hawa
nafsunya, aku bisa permainkan mereka sesukaku.”
Hal
ini dikuatkan dengan Ibnu Qayyim yang menyatakan dalam kitab Ighatsatul Lahfan, “Peringatan Allah
untuk mewaspadai setan lebih banyak daripada peringatannya untuk mewaspadai nafsu
dan selayaknya demikian. Sebab, bahaya dan kerusakan nafsu timbul karena setan.
Nafsu adalah kendaraan setan, sarang kejahatannya dan tempat dimana ia ditaati.
Dari hadist itu setan dan jin telah
menjelaskan, hal yang paling berat bagi mereka adalah menggoda mereka yang
melaksanakan sunah dan tidak mengikuti hawa napsunya. Setan masuk melalui nafsu
yang kita turuti. Mungkin saja ketika kita mendengar seluruh bisikan itu,
sebenarnya itu hanyalah napsu diri sendiri yang tersamarkan dari alasan-alasan
yang kita buat.
Bukan salah setan ketika kita sulit
untuk tahajud, mungkin kita yang sibuk membuat alasan masih kurang tidur. Masih
ngantuk banget. Ayam belum kokok. Ga denger adzan dsb. Bukan salah setan kalau
kita susah untuk puasa, ngaji, sunnah, berbakti, dan sukses dunia akhirat, itu mungkin kita yang masih sibuk
membuat alasan kalau banyak hal yang perlu kita lakukan dan kita takut
mengganggu urusan-urusan yang belum tentu penting itu. Itu mungkin kita, yang
masih berkutat dengan alasan-alasan.
Mereka yang terhindar dari godaan
syetan adalah mereka yang Melaksanakan sunnah dan menahan hawa nafsu, itu udah
dikasih jalan sama Allah biar bisa lepas dari hal-hal buruk. Jika saja kita
bisa melaksanakan dan menahan diri dari itu semua – setan pasti tidak akan bisa
menggoda kita. Alasan alasan itu, perselisihan perselisihan di kepala itu,
napsu napsu itu – mungkin karna kita yang memberikan peluang untuk digoda.
sama seperti sebuah kewajiban atau tugas. Setan sebatas menjalankan tugasnya untuk menyesatkan manusia. menggoda manusia. bukan menjadi tugas dia lagi jika kita ternyata tergoda. itu nilai plus bagi dia, dan nilai minus bagi kita. Itu sepenuhnya menjadi kendali kita untuk bisa tergoda atau tidak. itu murni tugas dia sebagai setan. Jadi, bukan salah setan kalau kita
kurang taat? Kita sendiri yang ternyata kurang tekad.