Sejak aliyah, atau malah tsanawiyah, saya suka menulis. Mungkin akan lebih
bijaksana kalau saya bilang itu sebagai proses menulis yang saya alami, bukan
menulis keren dan menghasilkan duit kayak penulis keren. Diary, surat
menyurat, pesan kecil dan lain sebagainya yang kalau kalian tau di pesantren
jaman dahulu, itu sangat menarik.
Proses komunikasi yang saya kenali sejak dulu adalah dengan menulis,
dengan menuangkan tulisan dalam selembar kertas, dalam rangkaian kata-kata. Itu
mungkin alasan kenapa saya tidak begitu terbuka atau tidak terlalu suka
basa-basi dalam suatu obrolan. Jika kalian merasa tidak begitu suka bicara,
mungkin alesannya adalah kalian suka menulis – coba saja (Barangkali itu sama
asiknya dengan yang saya rasakan sekarang. Lagipula menulis juga secara
psikologi terbukti ampuh sebagai terapi komunikasi kok)
Proses menulis itu sampai sekarang masih saya jalani, saya punya beberapa
blog yang isinya tidak bisa dibilang bagus, tapi saya tidak akan menyebutnya
buruk. Blog yang saya besarkan sejak saya kuliah s1 semester awal, hampir 12
tahun, blog yang saya buat dengan harapan saya bisa menjadi penulis
terkenal seperti tere liye, dewi lestari, andrea Hirata, dan beberapa
penulis favorit saya lainnya.
Harapan itu masih ada, tapi lebih realistis karena saya sadar kapasitas
dan keteguhan saya untuk mencapainya. Sekarang saya lebih senang menuliskan
pendapat pribadi, review buku, resume materi hukum di blog hukum atau
hal-hal lain yang bagi saya seperti “proses healing”. Menuangkan isi
kepala dalam tulisan seperti ini bagi saya sangaaaat menyenangkan, lebih dari
itu, mungkin melegakan. Seperti mengeluarkan segepok beban yang tidak tersampaikan
di kepala.
Di awal-awal membuat blog dulu, saya kira saya adalah penulis hebat, bisa
membuat puisi, sajak, cerpen, cerbung yang walaupun agak dipaksakan jalan
ceritanya, tapi saya tetap konsisten menulis. Entah ada atau tidaknya komentar,
entah bagus atau tidaknya menurut pembaca, setiap hari saya selalu menyempatkan
posting 1 tulisan baru. Sekarang saya tau, tulisan saya bahkan tidak bisa masuk
rubrik kampus saking acakadutnya wkwk.
Tulisan yang saya buat dulu, bersama teman terdekat, saya rangkum dalam
bentuk VCD, saya simpan beberapa cerpen terbaik yang saya punya dan saya coba
kirimkan di majalah terkenal saat itu. Hasilnya? NIHIL. Semuanya menolak.
Apakah saya berkecil hati? NOPE. Waktu itu saya memang nggak
sadar diri mungkin.
Sebagian teman-teman saya bilang itu bagus, Sebagian lagi nggak komentar,
Sebagian lainnya lagi menyemangati saya dengan bilang “udah coba aja“. Dari
semangat itu, ada beberapa tulisan saya yang nyangkut di terbitan rombongan puisi
dan majalah kampus. Saya ingat, judul cerpen itu kalau nggak salah “mata
cicak”. Setidaknya saya sempat bangga dan berbahagia dengan itu.
Dari situ keinginan belajar dan menulis saya semakin tinggi, saya tetap
punya kumpulan buku agenda dan harapan saya sejak SMA yang masih saya simpan
rapi di rak buku rumah sebagai pajangan.
Menulis seperti sudah jadi bagian kepribadian saya sekarang. Mau beli
sesuatu nulis, lihat qute bagus nulis, mau jalan-jalan nulis, harapan ditulis,
dan semua saya tuliskan dalam notes kecil andalan saya. Hampir dipastikan
jarang sekali saya terpisah dari notes kecil andalan yang selalu saya
bawa kemanapun saya pergi. Bekerja, jalan-jalan, bertemu klien, menulis buku
harian. (walaupun faktanya kegiatan harian kini sudah hampir tergantikan dengan
aplikasi target kerja atau spreadsheet yang bisa dibuat sederhana di smartphone)
Apa yang saya lakukan hari itu, berapa rupiah saya habiskan, saya bertemu
siapa saja, apa yang saya rasakan, apa yang harus saya lakukan besok, berapa
utang saya, kapan kewajiban harus saya tunaikan, apa mimpi saya di tahun depan,
apa doa-doa yang ingin saya mintakan – seolah-olah waktu akan terus memihak
saya dengan segudang angan-angan yang saya punya yang saya tuliskan di notes
itu. Jika ada yang membacanya, mungkin lebih seperti menelanjangi isi kepala
dan kepribadian saya disana.
Tapi ternyata saya sadar, saya begitu menyukai menulis sampai saya
tidak pernah merasa lelah jika harus memberi jeda untuk menulis apa yang saya
rasakan. Seperti sekarang (ini sudah pukul 10 malam dan saya masih
semangat menulis apa yang ingin saya sampaikan)
Mimpi saya agar menjadi penulis sudah dikabulkan. Mimpi saya supaya
nama saya terpampang nyata di sampul buku sudah jadi kenyataan. Sayangnya,
itu bukan buku fiksi seperti yang saya harapkan dulu. Itu jelas bukan buku yang
bisa menggugah perasaan pembaca seperti yang saya rasakan pertama kali ketika ngebaca
buku hafalan surat delisa.
Buku pertama saya, yang menjadi debut saya sebagai penulis adalah hasil
karya ilmiah semasa saya kuliah strata dua. Beruntungnya saya, dosen yang juga
praktisi senior saya merekomendasikan tulisan saya kepada penerbit besar di Bandung
untuk diterbitkan. Betapa saya harusnya merasa beruntung dan bersyukur lebih
banyak karena satu persatu dari semua yang saya harapkan di tulisan saya
sewaktu dulu mulai jadi kenyataan.
Sejak 2015 saya hobi sekali menuliskan progress atau harapan
tahunan di notes. Lulus kuliah kapan, mau magang dimana, mau bikin
kantor dimana, mau ngebuat usaha apa aja, jadi dosen, beli mobil, renovasi
rumah, dan syukur alhamdulillah 90% dikabulkan Allah. Keinginan kecil saya jadi
dosen dikabulkan karena niatan saya membanggakan hati kakek saya. Berawal dari
informasi teman, saya mengikuti proses rekrutmen di salah satu universitas
swasta dan menjadi dosen tetap disana.
Tidak butuh waktu lama setelah kabar baik yang saya terima, saya ditelfon
dosen senior dan ditawari untuk menerbitkan buku, betapa bersyukurnya saya
menyadari bahwa ternyata tulisan yang dulu hanya sekedar tulisan itu jadi
kenyataan. Barangkali memang semua yang diberikan Allah tersebab dari harapan dan doa yang kita panjatkan dalam tulisan.
Saya jadi semakin menyadari bahwa, tulis saja apapun yang kamu
inginkan. Tulis saja apa yang kamu harapkan. Setidaknya, itu membantumu mengingat
jalan mana yang belum kamu upayakan untuk ditempuh. Setidaknya, itu membantumu
mengingatkan lagi apa yang penting di hidupmu.
Jadi, yuk nulis bareng yuk.
Semoga dikabulkan semua yang jadi harapanmu.
Semoga makin lapang dada hati kita menerima kabar baik dari-Nya.
Best Regards, Latifa Mustafida
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida