a.
Apa itu komunikasi ?
Komunikasi
berasal dari bahasa latin “communicare” yang berarti “menyampaikan”. Apa
yang disampaikan dalam suatu komunikasi dapat saja berbentuk ide, gagasan, pesan,
dan mungkin juga perasaan jujur seseorang. Komunikasi tersebut tidak hanya dapat
disampaikan secara lisan, tetapi juga dapat ditangkap melalui gesture, sorot
mata, dan hal lain yang dapat kita amati dari sikap seseorang. Komunikasi dalam
bentuk gerakan ini kini dapat dilakukan dan telah menjadi ilmu
terapan tersendiri yang penting untuk dipelajari kalian yang tertarik ilmu psikologi.
Maksud
dari arti kata menyampaikan pada “communicare” disini tidak berarti secara tersirat pesan telah tersampaikan,
lebih dari itu, saya menangkapnya sebagai – dalam komunikasi, seharusnya
pesan yang dimaksud haruslah dapat diterima dan dipahami dengan baik tanpa di
salah tafsirkan. Tanpa membuat si penerima mengambil maksud lebih dari yang
disampaikan.
Begini mudahnya, dalam penyampaikan komunikasi - A (pengirim informasi ) memiliki kode yang hanya dipahaminya sendiri, ketika disampaikan kepada B (penerima informasi) kode dan sederet tanda tanya dalam kode tersebut harus disampaikan dan dimengerti sampai tuntas oleh penerima informasi.
Otak manusia bekerja berdasarkan bagaimana kepribadian dan watak yang mereka miliki. Beberapa memproses pesan sebagaimana adanya, beberapa lainnya memproses pesan dengan mengambil keputusan di awal dan mengambil kesimpulan dari sudut pandang pribadinya, selebihnya, beberapa lainnya lagi mengambil kesimpulan di akhir setelah mereka memastikan apa yang diterima sesuai dengan apa yang dipikirkan dan perasaannya.
Banyak
dari kita mengira (termasuk saya) bahwa proses komunikasi bekerja dengan baik
asal telah tersampaikan kepada si penerima pesan. Atau yang penting pesan telah dikirimkan. Entah
bagaimanapun itu diterima, yang jelas pesan telah kita sampaikan dan diterima. Padahal,
bisa jadi, di dalam proses penyampaian tersebut terdapat kesalahpahaman,
informasi yang tidak berimbang, pertanyaan yang mengganjal, ketidaktahuan atas
pesan yang dimaksud, hubungan yang buruk dan bisa jadi keterlambatan akal menerima proses penerimaan pesan. Komunikasi menghindari segala hal macam tadi, dalam artian, bahwa komunikasi harus dilakukan dalam keadaan yang baik dan dimengerti para pihak. Jika
tidak diolah dengan baik, pesan yang disampaikan dalam keadaan ini dapat menjadi "sumber" masalah
atau “pemicu” unek-unek yang dapat meledak suatu saat dalam suatu hubungan.
Selebihnya ini mengenai watak antar manusia satu dengan yang lain.
Dulu
saya berpikir bahwa, buruknya komunikasi hanya terjadi jika terjadi permusuhan,
perbedaan pendapat, perselisihan, dan tidak saling mengenal. Ternyata, buruknya
komunikasi dimulai dari ego masing-masing dan ketidakmau-an masing-masing
pribadi untuk mengenali serta mencoba memahami yang lain. Disini kita memahami bahwa point penting dalam komunikasi hanya 2, yakni salah 1 pihak mendengar dan salah 1 pihak mencoba mengerti (dan sebaliknya).
b.
Bagaimana komunikasi dapat bekerja?
Komunikasi
dapat bekerja jika maksud yang disampaikan telah diterima dan dipahami dengan
baik si penerima pesan (tanpa amarah dan embel-embel apapun di belakang). Si penerima
pesan menyadari bahwa, pesan ini disampaikan dengan maksud seperti ini (yang
sama)– tidak untuk maksud yang lain, tidak untuk beralasan, tidak untuk membela dirinya yang terpojok, tidak untuk menjelek-jelekkan atau
menyakiti salah satu yang lain dan sederet "tidak" yang lainnya.
Untuk
mengetahui bahwa komunikasi telah tersampaikan dengan baik, biasanya kita
mengerti bahwa penerima pesan memberikan respon yang hangat dan membuka diri
untuk menyampaikan apa yang dirasakan, atau setidaknya memberikan feedback
atas yang telah disampaikan. Ini salah satu tanda bahwa komunikasi telah
berjalan tanpa masalah. Namun bila komunikasi dilakukan dalam waktu
yang tidak tepat, biasanya komunikasi 2 arah gagal jika kita melihat salah satu
ciri ini - salah satu pihak (baik penerima pesan atau pengirim) dalam rangkaian
komunikasi kemudian mengambil kesimpulan yang jauh berbeda dari yang dimaksud
atau akhirnya percakapan berakhir tanpa kesimpulan yang disepakati dan merembet
ke banyak hal yang menjadi unek-unek tidak tersampaikan di kemudian hari.
c.
Apa itu komunikasi 2 arah ?
Komunikasi 2 arah adalah rangkaian proses komunikasi yang sempurna dan lengkap. dalam proses ini, informasi (baik pesan, perasaan, ide, maupun gagasan) dapat mengalir secara apik dan diterima dengan baik dari pengirim ke penerima pesan dalam sinyal yang stabil (baik secara langsung maupun tidak langsung). Dalam suatu hubungan, maupun organisasi yang lebih besar, penting sekali menjalankan komunikasi 2 arah.
“Communication depends on our ability to understand one another”.
Selain mengenai watak, keberhasilan suatu komunikasi sangat
bergantung pada kemampuan dan kehendak manusia untuk mengerti satu yang
lainnya. Kemampuan untuk mengerti tersebut hanya dapat dilakukan dengan
mendengar dan memahami maksud lawan bicara. Adanya kemampuan saja tanpa
keinginan untuk mendengar, hal tersebut tidak akan dapat berjalan lancar.
Contoh mudahnya, saya sendiri. (Dahulu) Saya
berpendapat bahwa komunikasi harus dilakukan oleh pihak yang menginginkan. Mustahil rasanya menjalin komunikasi pada lawan bicara yang menutup diri dan tidak menginginkan pesan apapun, itu artinya salah satu pihak menutup arus informasi. Namun pendapat saya pun salah, komunikasi harus terus dijalin dan diupayakan, dengan tanpa mengganggu atau
membuat pihak lainnya tidak nyaman. Ini berarti bahwa komunikasi yang dilakukan
harus sesuai dengan mood, gaya Bahasa, dan suasana hati para pihak. Apa yang salah ? Jika komunikasi oleh orang seperti ini berhenti, maka secara otomatis hubungan akan berakhir karena 1 pihak berhenti mengupayakan dan pihak lainnya merasa tidak perlu membangun komunikasi.
Apa saja fungsi komunikasi 2 arah ? ada banyak hal kegunaan dari keberhasilan komunikasi 2 arah ini. dalam buku 7 habits, disebutkan bahwa selain manajemen kepemimpinan yang baik, fungsi mendengar keinginan pihak lain sangat efektif dalam organisasi, inilah salah satu alasan mengapa komunikasi 2 arah harus dilatih dan dibiasakan. Ini dia sederet fungsi komunikasi 2 arah:
-
Dengan komunikasi 2 arah, informasi yang dilakukan
tersampaikan & diterima dengan baik sehingga tidak ada kesalahpahama;
-
Perasaan dan pengakuan dari 2 pihak ter-validasi;
-
Arahan diterima dengan baik & jelas oleh penerima pesan sehingga tugas terlaksana dengan maksimal;
-
Meningkatkan hubungan dan lingkungan yang kondusif;
Dengan berbagai fungsi di atas, jika lingkungan yang
ada telah kondusif dan penyampaian pesan diterima dengan baik, dengan begitu
selanjutnya komunikasi akan berjalan efektif karena antara pihak yang satu dan
lainnya tidak akan sungkan memberi masukan, pendapat, kritik yang membangun,
serta saling memberi evaluasi baik untuk peningkatan komunikasi.
d.
Eksperimen sosial.
Komunikasi yang buruk dan keinginan yang rendah seseorang dalam
berkomunikasi bisa saja bermula dari lingkungannya. Lingkup terkecil, keluarga,
teman terdekat, sekolah, kantor, dan bisa jadi trauma yang diderita seseorang
sejak dulu.
Untuk menghilangkan anggapan itu saya mencobanya dengan
ber-eksperimen di lingkungan terkecil saya. Saya mengamati bagaimana pola
komunikasi saya terbentuk (tiap kali merasa tersinggung dan marah saya hanya
akan menyimpannya dan diam) dan menemukan alasannya adalah karena orang tua. Dengan
latar belakang itu, saya meyakini bahwa trauma ataupun bentukan lingkungan
sejak dulu – yang hampir mendarah daging bisa perlahan dirubah oleh manusia
(itu terjadi karena sifat manusia bukanlah hal yang permanen). Hal tersebut
dapat berubah dan dirubah seiring pemahaman dan latihan.
Dengan pemahaman ini (yang ingin berubah), ketika merasa
tersinggung atas suatu hal - saya beranikan diri menyampaikan kepada salah 1
orang team bahwa ini yang saya rasakan, dan menyampaikan bahwa ini sama
sekali bukan untuk menjatuhkan atau menyalahkan dia, ini hanya perasaan saya
dan semoga dia mengerti.
Dia merespon maksud saya dengan baik dan, untuk pertama kalinya saya
merasa lega perasaan saya tersampaikan. Ternyata tidak mengerikan menyampaikan
ketidaknyamanan pada orang lain. Kini ketika merasa marah, sedih, tersinggung,
saya berusaha mengenali apa yang saya rasakan dan menyampaikan itu secara jujur
kepada pihak yang saya rasa perlu mengetahuinya. Baik kepada teman, orang
terdekat, atau orang tua saya. Kabar baiknya, hal itu juga diterima dengan baik
oleh merek.
Saya kira, yang akan saya dapat adalah penolakan dan tembok tinggi
yang akan menghambat saya (sebagaimana yang dulu saya lakukan). Ternyata jauh panggang
dari api, asal komunikasi terbentuk dari sini. Saya diterima dan itu
menyenangkan! (perut saya tak lagi sakit harus membayangkan kalimat
demi kalimat apa yang harus saya sampaikan, atau harus menahan marah karena
melihat seseorang). Ketika satu sama lain menyampaikan maksudnya dan itu
diterima dengan baik itu yang mengembangkan hubungan dan memperbaiki komunikasi
serta sudut pandang.
Eksperimen kedua saya adalah kepada ayah saya. Dahulu saya
kesulitan ber-komunikasi dengan beliau, tiap kali mengajak bicara, saya merasa
seperti berbicara dengan batu karena respon ayah saya hanya bilang sabar, diam atau
sama sekali tidak merespon (sembari matanya yang menyiratkan bahwa saya masih
anak kecil tidak perlu ikut campur).
Dari respon itu saya menyimpulkan bahwa ayah saya memang tidak
bisa diajak berkomunikasi dan saya malas mencoba lagi. Saya pikir – itu karena ayah
saya yang sulit. Ternyata saya salah, itu terjadi karena 2 pihak menutup diri
dan tidak tau caranya memulai. Ke-2 belah pihak ini tidak tahu “how to be close
or how to be trying understand other” karena memang belum PERNAH TERJADI sebelumnya.
Saya memutuskan memulainya lebih dahulu, mendekati ayah saya. Awalnya
hanya bicara hal-hal tidak penting, membicarakan diri saya, bagaimana pendapat
saya, apa saja kegiatan saya. Lambat laun saya mulai menyentuh pokok pembicaraan,
bagaimana pendapat ayah saya, sudut pandangnya, apa yang ayah saya pikirkan,
dan banyak hal. Lama kelamaan ayah saya menjadi terbuka dan saya mengerti perlahan
apa yang ayah saya mau. Banyak sekali keinginan dan gagasan ayah saya yang
tidak tersampaikan yang buruknya itu telah terjadi begitu lama sehingga membuat
komunikasi antara ayah dan ibu saya (menurut saya) kurang baik.
Keduanya sama, berpikiran bahwa komunikasi keduanya telah mencapai
kata final dan tidak dapat diperbaiki. Dan Kamilah anak-anaknya sebagai
jembatan kesalahpahaman tiap kali itu terjadi. Tapi tidak apa, dengan menyadari
ini pun saya pikir ini sudah merupakan progress ke arah yang lebih baik,
terlebih lagi - keduanya mau membuka diri.
Ayah saya berpendapat bahwa sudah sepatutnya ibu saya berubah
(karena sudah tua dan besar sehingga tidak perlu lagi menyampaikan bagaimana
yang benar atau bagaimana yang diinginkan ayah saya kepada ibu). Sebaliknya, ibu
saya berpendapat ayah saya sulit diajak bertukar pikiran karena hanya diam dan
tidak merespon, itu terjadi berulang kali, sampai akhirnya kini ibu saya
bersikukuh tidak perlu melibatkan ayah atau menyampaikan dulu apa yang ibu
lakukan. Maksud yang tidak tersampaikan keduanya ini akhirnya menjadi
kesimpulan bertahun-tahun yang mereka pegang, bahkan walaupun mereka hidup dan
tidur satu kamar. Hhe menarik bukan mengetahui hal yang bahkan dialami pasangan
suami isteri dalam keluarga yang sudah terjalin lebih dari 30 tahun dan belum
juga terurai benang kusutnya. Percaya tidak percaya, ini semua memang karena komunikasi!
Kini, tiap kali bepergian berdua, ayah saya lebih terbuka dan
hangat. Membicarakan apa yang jadi kegelisahannya, apa yang menurut dia benar,
apa yang menurut beliau salah. Pendapat saya pun kini diterima dengan baik
tanpa ada ekspresi lain yang menyiratkan hal berbeda. Saya complain pun
masalah sikap dan kepribadian ayah saya tidak bermuka masam hhe. Saya rasa,
komunikasi antar manusia memang perlu diupayakan. Sama halnya seperti
hubungan, semua manusia itu penting, dan point pentingnya adalah upaya kita menjaganya.
Sama seperti pohon, untuk hidup dia butuh disiangi dan mendapat
cahaya terus menerus. Tidak berbeda dari itu, hubungan antara manusia juga
rapuh – butuh upaya dan hal-hal lain untuk merawatnya agar senantiasa bersemi
dan tumbuh baik.
Dengan eksperimen ini saya bersyukur karena mendapat respon dan
penerimaan yang baik dari sekitar (terlebih hubungan saya yang dulu memburuk
kini perlahan membaik di sekeliling). Penerimaan kekurangan diri saya oleh
orang lain ternyata membuka pintu lain di hati saya untuk juga menerima
kekurangan dan sudut pandang yang lainnya.
Selain itu, mendapatinya bergerak
ke arah yang baik membuat saya lebih bahagia karena ternyata usaha saya tidak
sia-sia. Meskipun awalnya sulit, ternyata tidak ada salahnya melakukan
eksperimen semacam ini untuk hal yang baik dalam keluarga.
semoga kalian menyadari bahwa dalam hubungan, yang terpenting kini bukan lagi soal memperturutkan emosi – tapi bagaimana memperbaiki komunikasi. Salam jumat.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida