“Jalan pintas untuk menjadi tidak bahagia adalah membandingkan diri sendiri dengan orang lain.” (Jack Canfield)
Membandingkan diri sendiri dengan
orang lain memang impuls alamiah dari kita, manusia. The Comparison Trap.
Rebecca Webber bahkan dalam Psychology Today menyatakan bahwa keinginan membandingkan
memang menjadi sifat bawaan dari manusia.
Membandingkan diri sendiri dengan
orang lain bisa terwujud dalam banyak hal dan tidak pernah sama. Kadangkala
kita mengukur pencapaian diri sendiri dengan yang lain, kadangkala kita
membandingkan kemampuan diri sendiri dengan yang lain, kadangkala - kita
memaksa diri sendiri bergerak seperti yang lain.
Pernahkah kalian
mengamati sejenak - dalam perjalanan, ketika sedang berolahraga, ketika makan,
pekerjaan, dan segala rutinitas yang kita kerjakan – bahwa sesekali, pada satu
titik, kita terpaku pada orang lain dan mulai merendahkan upaya diri sendiri.
Dalam
suatu sesi jalan pagi, saya berjalan kaki dengan mengenakan earphone dan
mulai melihat sekeliling. Semua orang sedang berolahraga pagi, ada yang
sendirian, bersama teman terdekat, kekasih atau bahkan dengan keluarga. Beberapa
dari mereka sama seperti saya, berjalan santai sembari mengamati burung yang
beterbangan, menikmati iringan lagu –melihat tumpukan sampah di jalanan depan,
melihat gerakan awan sembari merasakan hembusan angin, badan yang sehat. Sebagian yang lain diam dan kosong tanpa berpikir,
sebagian lain berlari kencang terpaku pada kecepatan dan saya bertemu mereka
berkali-kali dalam rute yang sama ketika bahkan - saya belum
menyelesaikan separuh jalan.
Satu
kali putaran pertama - tidak jadi masalah. 2x putaran, 3x putaran, perlahan
saya mulai terganggu.
Tiba-tiba
perasaan nikmat berjalan kaki hilang. Saya mulai berpikir, apakah saya terlalu
pelan? Apakah saya tidak bisa menjadi lebih cepat dan mendapat hasil (angka dan
keringat) yang kurang lebih seperti si pelari cepat itu? Apakah saya terlalu
lambat berjalan ? apakah saya terlalu membuang-buang waktu?
Sederet perasaan dan
pikiran itu mulai mengambil alih.
Hanya
dengan berpapasan dengan seseorang yang bahkan tidak saya kenal tersebut beribu
pikiran datang. Cukup mengganggu dan membuat kita merefleksikan diri sendiri.
Sesaat
setelah fokus teralihkan, saya mulai berjalan cepat – mencoba mengejar
kecepatan si pelari cepat – saya memaksa
kaki berlari dan bergerak cepat, mencoba menyamakan langkah orang yang ada di
depan – mulai mengejar dan (tanpa disadari) berupaya ingin mengalahkan. Saya mulai
mengabaikan lagu favorit yang sedang diputar, sapaan kenalan lain di seberang,
anjing lucu yang sedang berjalan di hadapan.
Tapi tidak perlu
lama, kecepatan yang saya paksakan itu perlahan-lahan membuat kaki saya kelelahan.
Perut gatal dan otot tidak nyaman. 5 menit berikutnya saya berhenti! Saya menyerah
memaksakan kecepatan. Ini bahkan bukan diri saya sendiri.
Mengapa saya
berbuat bodoh seperti ini?
Menarik bukan ? Kita
terpengaruh pada orang lain, tidak pernah berhenti mencoba menjadi yang
disenangi, yang dianggap sukses, yang tampak keren, dan sederet penilaian “Naif”
di mata kita yang tidak mudah dicapai. Padahal, kebiasaan dan upaya yang sudah
kita bangun juga tidak pernah salah dan bahkan keren di mata orang lain. kita
saja yang lupa menyadari bahwa yang terpenting adalah tujuannya, bukan siapa
yang lebih cepat sampai disana.
Kamu berharap hidup
sehat dan untuk mencapai tujuan itu kamu memilih kebiasaan berjalan kaki (agar
pikiran menjadi lebih rileks) kemudian menganggap bahwa itulah upaya sekaligus
hiburan yang kamu punya, healing katanya. Bertahun-tahun kamu tepati
janji itu dan tidak sekalipun kamu ingkari. Sementara orang lain, yang waktunya
mungkin terbatas, menikmati berlari cepat agar seluruh agendanya terselesaikan
lebih cepat dan tetap menjadi sehat, jika tujuannya sama – apa yang jadi
masalah disana ? bukankah hanya caranya saja yang berbeda?
“Mengapa kita harus menjadi orang lain? mengejar
target yang orang lain jalani ? Mengapa harus menyamakan kecepatan dan
standar hidup orang lain ?
Kita semua bahkan
tahu bahwa, ini perjalanan kita
sendiri. Bukan seberapa cepat kita menggapainya, tapi seberapa gigih dan
konsisten kita menjalaninya. Percuma mengejar ketertinggalan tanpa rencana
matang dan membuat kita berhenti bahkan menyerah di tengah jalan. Percuma memaksa
menjadi sukses dengan ukuran orang. Bukankah yang terpenting adalah
menikmatinya ?
Jika
suatu saat ini terjadi pada anda (dan mungkin akan terulang pada saya), jangan
lupa – kita hanya sedang berupaya keras untuk hidup lebih baik sembari menyesuaikan
dengan nilai dan ukuran yang kita punya.
Percuma membeli baju dengan selera dan ukuran orang lain, kamu tidak akan nyaman
dan tidak akan bersyukur memilikinya. Sebagaimana hidup orang lain juga berharga, jangan lupa hidup yang kamu jalani sama berharganya.
Alexander Thian dalam sebuah
tweetnya, menyatakan bahwa setiap orang punya standar ideal yang berbeda (dan
itu tidak mengapa). Kita semua mulai dari titik yang berbeda-beda. Waktu kita juga
berbeda. Kita mungkin sama-sama menuju hidup yang lebih baik. Tidak peduli
siapa yang sampai disana terlebih dahulu dan apa yang telah kamu capai lebih
dahulu, semoga kamu menikmatinya!
semoga terus bahagia
menjalaninya.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida