Menjadi dosen, sepertinya memang impian saya sejak kecil. Lebih tepatnya
harapan waktu kecil. Setelah dewasa?
Tidak juga. Harapan waktu kecil ternyata kadang tidak realistis di kemudian
hari.
Alasannya se sederhana karena saya bahkan tidak percaya diri
dengan ilmu yang saya punya. Saya masih terlalu tidak berpengalaman sepertinya
(begitu pendapat saya). Mungkin saya menyukai hal mengenai mengatur, menulis,
membuat jadwal, meng-kooordinir dan dipercaya, tapi jelas – keahlian berbicara
dan menyampaikan adalah satu hal lain yang berbeda.
Selain karena memang bicara di depan public itu membutuhkan tenaga yang
sangat besar, saya memang tidak menyengajakan diri untuk mendaftarkan sepenuh
jiwa raga untuk menjadi dosen. Saya lebih fokus menyelesaikan persyaratan
profesi saya yang sepertinya memang jalan hidup yang saya pilih dengan mantap.
2 tahun berjalan, moment tidak terduga datang, 2 minggu atau kalau tidak
salah 1 minggu sebelum simbah saya meninggal dunia – tawaran lowongan pekerjaan
menjadi dosen sampai di saya. Dari teman terdekat. Dia bilang disana sedang
kosong, dan sedang membuka recruitment dosen. Tanpa ba bi bu saya
tanyakan pada ibu dan simbah, tampaknya beliau berdua menyukai ide tersebut,
dan jadilah sekarang saya melakoni 2 profesi, praktisi – sekaligus akademisi. Kesiapan seseorang mengenai sesuatu kadangkala memang hanya perlu dipaksakan.
Mulanya saya kira pekerjaan dosen (tetap) hanyalah mengajar, sama seperti
yang dilakoni senior saya dulu sebagai seorang praktisi dan dosen lepas suatu Universitas
Negeri di Yogyakarta. Saya pikir, kalau orang lain bisa, kenapa saya harus
nggak bisa! (begitulah ketamakan pikiran saya bicara) Tampaknya itu tidak
berlaku kepada dosen tetap, banyak sekali yang harus dilakukan – administrasi –
menguji – menilai – membuat materi, bahkan diharuskan terus menerus upgrade
skill yang itu tidak mudah untuk dijalani bagi mereka yang memang rangkap
profesi (atau barangkali ini alasan saya saja).
Cukup melelahkan kalau boleh jujur, sampai saya pada titik yang – “hebat ya dosen saya dulu bisa berapi-api terus menerus menyampaikan materi kepada mahasiswanya”. Saya, yang kini telah berjuang sedemikian rupa untuk tampil baik dan maksimal (semampu saya), kadang kala harus mengalami fase yang – benar-benar lelah dan energi terkuras habis ketika seluruh tenaga saya pergunakan, entah itu berbicara, berpikir, bersabar menghadapi kondisi tidak terduga atau bahkan hanya sekedar membalas pesan mahasiswa.
Dalam 1 tahun belakangan saya banyak sekali berpikir, kapan sebenarnya
seseorang bisa meyakini apakah suatu hal adalah passion nya atau bukan?
kapan seseorang dibolehkan menyerah atas ketidaktahuan dan rasa lelahnya
tentang sesuatu ? atau sebenarnya, passion hanyalah sesuatu yang kita
pilih dan terus menerus kita lakukan sehingga kita menjadi terbiasa dan ahli di
dalamnya? Sampai detik ini, saya sendiri tidak tahu jawaban pastinya.
Dari terlalu banyak berpikir itulah kadang kala justru muncul jawaban
untuk menyerah. Mungkin saja, sebenarnya segala hal ihwal dalam hidup hanya
perlu kita jalani dan tidak udah dipikirkan. Mungkin akan lebih mudah begitu.
Mulanya saya ingin menyerah, mengira bahwa ini memang tidak ditujukan
pada saya, bukan passion dan mungkin seharusnya saya menyerah saja
dibanding harus bergumul dengan perasaan bercampur yang tidak karuan. Ingin maju
tapi kesulitan membagi waktu. Ingin mundur tapi terlalu sulit merelakan kesempatan
yang sudah didapat.
Menariknya, semakin lama - ada satu perasaan nikmat yang saya rasakan
ketika bertemu, menyampaikan materi, mendapat pertanyaan tidak terduga, perasaan
berdebar ketika tidak dapat menjawab pertanyaan, atau sebahagia ketika mendapat
ucapan terima kasih dari mereka (yang merupakan representasi saya ketika muda
dulu). Sedikit kenikmatan dan kebahagiaan itu ternyata bisa memberi
sugesti untuk bertahan. Hari demi hari, minggu demi minggu.
Entah apakah 2 tahun, 3 tahun, atau sampai bertahun-tahun lagi saya akan
bertahan – saya tidak tahu, semoga nanti keputusan adalah yang terbaik bagi
saya dan memang diridhoi Allah. Saya tau tidak ada rumus yang tepat untuk menjadi pengajar yang baik, tapi semoga akan lebih banyak kebahagiaan dan hikmah
yang saya dapatkan, begitu pula dengan mereka, semoga terus mendapatkan hal
baik dan semangat yang saya dapatkan dari dosen saya dulu. Semoga.
Salam sabtu.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida