BECAK FERRARI DI KAWAH IJEN


            Satu hal yang paling bikin saya inget Banyuwangi adalah, Fewwawi (baca Ferrari). Seandainya semua orang bisa lihat esensi kerja keras dan bersyukur, mereka pasti bakal liat bahwa semua penarik becak di kawah ijen itu ada di strata tertinggi yang bisa bikin kita ngaca, bersyukur punya kerjaan yang enak dan nggak ngoyo. Tapi mungkin, dengan situasi yang rame banget – lelah dan nanjak, ga semua orang bisa ngeh sama hal itu. hehe.

Begini lho latar belakangnya.

Buat kalian yang belum pernah naik kawah ijen dan gatau medannya, rasanya kawah ijen hampir saya bandingin sama kawah sikidang atau kawah gunung bromo dengan view yang gitu-gitu aja. Ya kawah, tambah blue fire aja, paling naik dikit udah keliatan. Padahal, tracking di kawah ijen lumayan sulit buat pemula. Dengan akses jalan kecil, nanjak dan lumayan licin. Tapi antara trek dan view disana, saya boleh bilang sepadan banget.

Mei lalu saya dan temen-temen trip serba mendadak ke kawah ijen, berbekal nekat dan temen yang sepakat berangkatlah kita dari jogja. Buat naik ke kawah ijen, kalian harus bawa surat keterangan sehat dari dokter dengan jarak waktu expired 3 hari dari tanggal pemeriksaan. Kalian bisa dapet surat itu dimanapun, dan masih manual ya temen-temen. Surat keterangan itu nantinya bakal diserahin ke loket buat registrasi dan pembayaran. Oiya, untuk tarif per orang bisa kalian cek sendiri disini ya https://tiket.bbksdajatim.org/#/ - setelah melakukan pendaftaran, kalian akan mendapatkan email balasan.

Meskipun sudah mengadaptasi sistem daftar online untuk memastikan kuota pendakian, verifikasi dan registrasi ulang di kawah ijen masih dilakuin manual dan bayarnya cash. Jadi kalian harus kerja 2x dengan daftar online sebelum hari kedatangan, dan antri lagi buat nyerahin syarat plus bayar. Dengan estimasi begitu, kalian harus sudah sampai di loket verifikasi sebelum jam 2 pagi karena pendakian dibuka di jam tersebut.

Emang nggak bisa ya daki pas pagi aja setelah terbit matahari?




Bisa kok. Banyak temennya. Dan Lokasi penanjakan lebih sepi. Tapi buat yang pengen lihat sendiri blue fire, kalian memang diharuskan berangkat lebih pagi. Belum lagi kalau kalian emang nyari view lebih keren dari sunrise, naik di jam segitu bakalan lebih menantang dibanding setelah jam 6 pagi.

Saya dan team start dari penginapan jam 1 malem, sampai di post pendakian kurang lebih setengah jam dan langsung antri buat bayar. Buat kalian yang nggak punya oksigen, masker, sarung tangan atau jaket tebel kalian bisa sewa di deket post pendakian dengan harga yang relatif wajar. Dengan kondisi jalan yang ramai padat karena long weekend, jalanan cukup nanjak, dan kondisi badan yang kurang mumpuni, kami naik kawah ijen dan mulai dari pos pendakian awal inilah saya kaget dengan pemandangan baru yang for the first time saya liat.


Kalau di bromo ada kuda ples mobil jeep, di dieng ada motor, di kawah ijen kalian bisa naik becak yang biasa mereka sebut Ferrari (hehe) dengan harga 1.5jt PP. mahal gak sih cuman naik turun gitu segitu? Buat yang ga paham, awalnya saya juga mikir, dih ogah segitu - daripada 1.5jt buat bayar naik becak mending buat ke bali. Tapi, setelah liat betapa capek dan susah treknya, dan ngliat betapa effortnya mereka yang punya Ferrari ini saya jadi mikir, ya Allah, saya dibayar segitu juga ogah saking capeknya. Nilainya sebanding sama lelah sama enak yang kita rasain dari bantuan mereka. Jenis pekerjaan baru yang saya liat ini kalo mau diambil hikmahnya, banyak banget bisa ngasih pelajaran ke kita.

Sepanjang jalan saya ngamatin, sebagian besar pengguna becak ini justru orang luar negeri kayak cina dan tetangganya. Saya rasa bukan karena orang Indonesia nggak mampu bayar, tapi kalau menurut saya pribadi lebih karena nggak tega karena beneran – bawa diri sendiri aja udah cukup capek dan ngos-ngosan apalagi harus bawa dan narik badan orang lain yang nggak kecil. Secara fisik, orang cina dan luar negeri yang naik Ferrari ini gede dan tinggi. Jadi bayangin berapa beban yang harus mereka Tarik dan berapa energi yang mereka keluarin. Tapi dengan pemikiran itu saya salah juga, karena ini emang kerjaan mereka. Jadi justru harusnya saya nggak kasian sama mereka karena bisa ngurangin pendapatan mereka.

Dibanding mikir kesulitannya, anggaplah mereka bekerja sekaligus olah fisik. Tapi ya, nggak gitu juga kan ya, hehe.

Bicara soal becak ini, sebagian besar perbincangan yang saya denger mengkategorikan mereka sebagai orang madura. Saya nggak tau berapa banyak penumpang yang bisa mereka bawa dalam perjalanan 4 jam naik turun itu. seberapa banyak uang yang mereka terima untuk kehidupan mereka sendiri dan seberapa kuat mereka bertahan dengan pekerjaan yang menuntut fisik sempurna begini. Di luar itu semua, yang mau saya garis bawahin adalah, tuh liat– usaha begini harusnya kalian syukuri. Mereka tetep semangat 45 nyari duit walaupun harus capek dan teriak nyemangatin diri sendiri karena harus narik orang sementara badan mereka sendiri aja udah berat buat dibawa.

Saya jadi cukup sadar bahwa, tuh lihat, semua orang lagi berjuang dan bukan kamu aja yang berjuang sendirian. Udah kayak paling susah dan berjasa sendiri di hidup, padal semua orang juga gitu. Ngupayain yang terbaik buat hidupnya. Rasanya nggak pantas membandingkan atau bersantai-santai ngeliat upaya yang dikerahkan orang lain sementara kamu nyerah dan males ngejalanin sesuatu.

Hikmah yang saya ambil dari perjalanan ini, akan ada banyak pilihan yang bisa kalian ambil dalam hidup. Mau jalan sendiri dan ngrasain berapa energi yang kalian keluarin, atau ngeluarin uang buat bayar energi orang lain itu. Semua opsi ada ples minusnya. Semoga bermanfaat!

            

Best Regards, Latifa Mustafida

Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida